Sabtu, 18 Mei 2013

Rabies dan Distemper


“ Brino yang tiba-tiba Menggigit dan Kejang-Kejang “
Thursday, May 16th 2013.
Learning Objectives.
1.      Bagaimana Etiologi, Pathogenesis, Gejala Klinis dan Perubahan Patologis dari Rabies ?
2.      Bagaimana Etiologi, Pathogenesis, Gejala Klinis dan Perubahan Patologis dari Distemper ?
Pembahasan.
A.    Rabies.
1.      Etiologi Rabies.
Virus rabies merupakan prototipe dari genus Lyssavirus dari famili Rhabdoviridae. Virus rabies merupakan virus asam ribonukleat berantai tunggal, beramplop, berbentuk peluru dengan diameter 75-80 nm termasuk anggota kelompok Rhabdovirus. Amplop glikoprotein tersusun dalam struktur seperti tombol yang meliputi permukaan virion. Glikoprotein virus terikat pada reseptor asetilkolin, menambah neurovirulensi virus rabies, membangkitkan antibodi neutralisasi dan antibodi penghambat hemaglutinasi, dan merangsang imunitas sel T. antigen nukleokapsid merangsang antibodi yang mengikat komplemen. Antibody netralisasi pada permukaan glikoprotein tampaknya bersifat protektif. Antibodi antirabies digunakan pada analisisis munofluororescent diagnostik yang umumnya ditujukan pada antigen nukleokapsid. Isolasi virus rabies dari spesies binatang yang berbeda dan memiliki perbedaan sifat antigenik dan biologik. Variasi-variasi ini bertanggung jawab terhadap perbedaan dalam virulensi antara isolasi. Interferon diinduksi oleh virus rabies, khususnya dalam jaringan dengan konsentrasi virus yang tinggi, dan berperan dalam memperlambat infeksi yang progresif, (Elcamo, 1997).
Rhabdovirus merupakan partikel berbentuk batang atau peluru berdiameter 75 nm kali panjang 180 nm. Partikel dikelilingi oleh selubung selaput dengan duri yang menonjol yang panjangnya 10 nm, dan terdiri dari glikoprotein tunggal. Genom beruntai tunggal, RNA negative-sense (12 kb; BM 4,6 x 106) yang berbentuk linear dan tidak bersegmen. Sebuah virus rabies yang lengkap diluar inang (virion) mengandung polimerase RNA. Komposisi dari virus rabies ini adalah RNA sebanyak 4%, protein sebanyak 67%, lipid sebanyak 26%, dan karbohidrat sebanyak 3%. Rhabdovirus melakukan replikasi dalam sitoplasma dan virion bertunas dari selaput plasma (Elcamo, 1997).
Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 560C waktu paruh kurang dari 1 menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 370C dapat bertahan beberapa jam. Virus juga akan mati dengandeterjen, sabun, etanol 45%, solusi yodium. Virus rabies dan virus lain yang sekeluarga dengan rabies diklasifikan menjadi 6 genotipe. Rabies merupakan genotipe 1, mokola genotipe 3, Duvenhage genotipe 4, dan European bat lyssa-virus genotipe 5 dan 6 (Elcamo, 1997).
2.      Patogenesis Rabies.
Sebagian besar infeksi disebabkan oleh air liur yang menyerang otot ataupun membran mukosa. Dengan mengikuti periode replikasi, kemungkinan ketika separuh dari masa inkubasi, virus ini akan dialirkan secara sentripetal melalui nervus perifer dan syaraf spinal menuju ke otak. Waktu interval antara inokulasi virus pada suatu tempat akan digunakan oleh virus tersebut untuk menginfiltrasi serum hyperimmune pada tempat tersebut. Virus ini biasanya dibawa dengan arah sentrifugal dari CNS dan mencapai glandula salivarius melaui inervasi nervus ke daerah tersebut. Inilah yang menyebabkan virus ini sering ditemukan pada glandula salivarius, bukannya di otak. Distribusi lewat sirkulasi darah dapat terjadi namun jarang ditemukan. Walaupun penyakit ini dapat berakibat fatal, namun kesembuhan tetap dapat terjadi pada beberapa hewan dan manusia (Fenner, F.J., 1993).
Virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui gigitan atau kadang-kadang cakaran hewan penderita rabies atau jika air liur yang mengandung virus dari hewan penderita rabies mengenai luka yang terbuka. Virus dapat masuk secara langsung ke dalam ujung saraf yang ada di tempat gigitan, atau pada otot. Setelah itu masuk ujung syaraf tepi. Genom virus selanjutnya berpindah secara sentripetal dalam sitoplasma dari akson sistem syaraf tepi sampai mencapai sistem syaraf pusat, biasanya di sumsum tulang belakang. Masuknya virus ke dalam sumsum tulang belakang dan kemudian otak (khususnya sistem pinggang) berkaitan dengan gejala klinis tidak berfungsinya syaraf (Fenner, F.J., 1993).
Biasanya, bersamaan dengan infeksi saraf pusat yang menyebabkan keberingasan, virion juga dilepaskan oleh bagian puncak dari sel penghasil lendir pada kelenjar ludah dan selanjutnya berada dalam konsentrasi tinggi pada air liur. Pada beberapa kasus, virus dikeluarkan ke dalam air liur beberapa hari (terkadang 14 hari) sebelum timbulnya gejala klinis pada kasus yang lain, atau virus mungkin tidak pernah ada dalam air liur, bahkan sampai akhir stadium penyakit. Selama berlangsungnya rabies, respon imun spesifik dan keradangan inang tidak banyak dirangsang, barangkali karena infeksinya tidak merusak sel pada otot dan sistem syaraf, dan karena infeksinya sebagian besar terpusat pada lingkungan sistem syaraf yang terpisah secara imunologik. Setelah mati, kecuali untuk infiltrasi sedang dari sel radang mononuklear pada sistem syaraf, hanya akan terdapat sedikit bukti histologi adanya respon inang terhadap infeksi. Selanjutnya pada hewan yang mengalami infeksi secara percobaan, antibodi penetralisasinya mencapai level yang bermakna hanya menjelang kematiannya, ketika sudah terlambat untuk menolongnya, dan dapat membantu dalam immunopatologi dari penyakit (Fenner, F.J., 1993).




3.      Gejala Klinis Rabies.
Hewan peka yang menunjukkan tanda spesifik dengan sedikit variasi abnormal, yaitu diantaranya karnivora, ruminansia, kelelawar, dan manusia. Gejala klinis, terutama pada anjing, dapat dibedakan dalam 3 fase :
1. Prodromal phase
2. Excitative/Furious phase
3. Paralytic phase
Terminologi ‘furious form’ artinya hewan yang mengalami fase eksitasi pre-dominan, dan ‘dumb’ atau ‘paralytic rabies’ artinya anjing yang mengalami fase eksitasi pendek ataupun tidak sama sekali sehingga penyakit ini akan melanjut secara cepat menuju fase paralisis. Pada kebanyakan hewan, tanda pertama adalah perubahan tingkah laku, dimana kemungkinan hewan tidak dapat membedakan makanan yang akan dimakan, terluka, terdapat benda asing pada mulut, keracunan, ataupun infeksi penyakit awal. Perubahan temperatur tidak signifikan dengan ketidakmampuan menahan air liur. Hewan umumnya akan berhenti makan dan minum lalu menyendiri. Seringkali, ditemukan iritasi ataupun stimulasi pada traktus urogenital, yang ditandai dengan seringnya urinasi, ereksi pada hewan jantan, dan meningkatnya libido. Setelah periode prodormal selama 1-3 hari, hewan akan menampakkan gejala paralisis dan berubah menjadi buas. Karnivora, babi, dan kuda akan menggigit sesamanya. Sapi akan mendorong dan menendang benda-benda di sekitarnya. Penyakit ini akan melanjut sangat cepat setelah melewati fase paralisis.
Bentuk Paralisis : Ditandai dengan paralisis awal dari tenggorokan dan musculus masseter, biasanya diikuti dengan hipersalivasi dan ketidakmampuan untuk berjalan secara seimbang. Anjing pada kondisi ini akan sering meletakkan kepalanya di lantai. Seringkali pemilik akan memeriksa mulut anjing atau sapi miliknya dengan tangan kosong, untuk memeriksa apakah ada benda asing. Pada saat inilah hewan akan mulai menjadi buas dan menggigit. Paralisis akan menjalar secara cepat ke seluruh tubuh, hewan akan mengalami koma, kemudian kematian akan terjadi setelah beberapa jam kemudian.
Bentuk Buas : Rabies bentuk ini sudah klasik ditemukan dan dikenal sebagai ‘mad-dog syndrome’ dimana hewan menjadi irrasional, buas serta agresif. Ekspresi wajah menjadi tajam dan gelisah, dengan dilatasi pupil, dan penciuman yang tajam. Hewan akan kehilangan konsentrasi dan lupa pada musuh alaminya. Disini tidak ada paralisis selama fase eksitasi. Umumnya jarang ada anjing yang mampu melewati 10 hari setelah munculnya gejala ini. Anjing dengan penyakit rabies bentuk ini akan melarikan diri ke jalanan, dan menggigit hewan lain, manusia, dan benda-benda lainnya. Mereka akan sulit membedakan antara feses, buah, batang, dan bebatuan. Anjing rabies akan mengunyah kawat dan perisai kandang untuk mengasah gigi mereka, dan akan mengikuti gerakan tangan di depan kandang mereka mencoba untuk menggigit. Anjing kecil biasanya akan menjauhi kerumunan orang dan bermain sendiri, tetapi jika dibelai akan menggigit pada akhirnya, dan berubah menjadi buas beberapa jam kemudian. Selama penyakit ini berlanjut, hewan akan mengalami inkoordinasi otot dan konvulsi. Kematian adalah hasil terakhir dari lanjutan paralisis.
Kucing domestik dapat dengan tiba-tiba menyerang, menggigit, dan mencakar dengan buas. Rubah juga seringkali tiba-tiba menyerbu dengan jarak beberapa yard dari rumah, menyerang anjing dan manusia. Tingkah laku irrasional bagi rubah untuk menyerang landak. Penemuan bulu landak pada sekitar mulut rubah, pada beberapa kasus, dapat meneguhkan diagnosa penyakit rabies. Rubah yang terinfeksi rabies akan tertarik pada hewan ternak yang kebetulan lepas, dan kemudian akan menyerang mereka di luar areal peternakan.
Rabies pada sapi umumnya diikuti oleh gejala yang sama, namun bentuk kebuasannya akan lebih berbahaya, karena disamping menyerang mereka juga akan memburu dan mengejar manusia ataupun hewan lain yang berada di sekitarnya. Kuda akan memperlihatkan pengaruh yang lebih ekstrim, yaitu dengan berguling-guling di tanah seperti kasus indigesti. Seperti spesies lainnya, mereka akan menggigit dan menginjak dengan ganas, karena ukuran tubuh dan kekuatannya, menjadi tidak terkontrol dalam beberapa jam. Seringkali mereka juga akan melukai dirinya sendiri. Kelelawar vampir biasanya terbatas dan hanya ditemukan di sekitar Amerika Selatan, Trinidad, Amerika Tengah, dan Mexico. Hewan ini akan terbang dan dapat tiba-tiba menyerang hewan lain, kecuali untuk makan. Makanan asli mereka adalah darah segar. Walaupun yang lebih disukai adalah hewan ternak, bukan berarti mereka tidak menyerang hewan lain, termasuk manusia, dengan menggigit dan menghisap darah dari bekas luka gigitan tersebut. Gejala klinis rabies mirip pada sebagian besar spesies, tetapi sangat bervariasi antara individu. Setelah terjadi gigitan hewan penderita rabies, masa inkubasinya biasanya antara 14 sampai 90 hari, tetapi dapat jauh lebih lama. Masa inkubasi 2 tahun telah dilaporkan pada kucing, dan empat kasus pada manusia telah diperkirakan di negara industri dengan masa inkubasi terbukti dari setidaknya 11 bulan sampai 6 tahun. Pada masing-masing kasus manusia itu, virusnya diketahui merupakan genotip anjing dari negara berkembang (Fenner, F.J., 1993).
Virus rabies menginfeksi CNS sehingga mampu menyebabkan encephalopathy dan kematian. Gejala klinis awalnya tidak spesifik, meliputi demam, sakit kepala, dan tidak enak badan. Dan proses selanjutnya pasien akan mengalami insomnia, kecemasan, kebingungan, paralisis ringan atau parsial, eksitasi, halusinasi, agitasi, hipersalivasi, kesulitan menelan, dan hydrophobia (takut air). Kematian biasanya terjadi beberapa hari setelah gejala klinis pertama terdeteksi. Terdapat fase prodomal sebelum tampaknya penyakit klinis, yang seringkali tidak teramati pada hewan atau hanya dapat disimpulkan dari adanya perubahan tingkah laku. Dikenal dua bentuk klinis penyakit, yaitu: bentuk beringas (hewan menjadi gelisah) dan bentuk loyo atau paralisis. Pada bentuk beringas, hewan menjadi gelisah, gugup, agresif dan seringkali berbahaya karena mereka tidak lagi mempunyai rasa takut kepada manusia dan menggigit segala sesuatu yang menarik perhatiannya. Hewan ini seringkali tidak mampu menelan air, yang menyebabkan penyakit ini disebut juga sebagai “Hidrofobia” (takut air). Sering terjadi pengeluaran air liur secara berlebihan, respon berlebihan terhadap sinar dan suara, dan hiperestesia. Dengan terjadinya encephalitis, keganasan berubah menjadi kelumpuhan, dan hewan memperlihatkan gejala klinis yang sama dengan yang dijumpai pada penyakit bentuk loyo. Pada akhirnya, sering terjadi badan kejang-kejang, koma, dan terhentinya pernafasan, dengan kematian yang terjadi 2–7 hari setelah dimulainya gejala klinis. Anjing, kucing dan kuda lebih banyak menderita penyakit bentuk beringas daripada sapi atau ruminansia lainnya maupun spesies hewan laboratorium (Fenner, F.J., 1993).

4.      Perubahan Patologis Rabies.
a.       Makroskopik
Perubahan Pathologi utama dari penyakit Rabies adalah perubahan pada SPP berupa enchepalomyelitis. Temuan maksroskopis pada otak untuk rabies yang bersifat akut sangat susah untuk dilihat perubahannya. Otak hanya terlihat sedikit mengalami kebengkakan pada bagian meningeal, pembuluh darah parenkim tersumbat. Temuan lain adalah adanya perubahan pada organ-organ respirasi, dan gagal jantung. Ada pendarahan atau haemorhagi atau jaringan nekrosis bukanlah hal yang biasa ditemukan dari Rabies enchepalitis. Proses inflamasi pada otak yang mirip juga dapat diperlihatkan oleh penyakit lain seperti Japanese enchepalitis. Pada umumnya perubahan patologi secara makroskopis pada penyakit Rabies sangat bervariasi dan tidak terdapat perubahan patognomonis yang menciri terhadap Rabies .
Perubahan yang makroskopis lainnya yang sering terlihat ialah adanya perdarahan pada selaput lendir didaerah mulut disebabkan oleh gejala pika atau anjing memakan segala sesuatu yang tidak wajar dan mengigit benda-benda keras yang meyebabkan trauma disekitar mulut. Hal ini sering diikuti oleh perubahan makroskopis yang berupa temuan barang-barang asing di perut seperti kawat, kayu dan sebagainya .
Pengambilan sampel berupa kelenjar ludah dan hypocampus dapat dilakukan untuk menunjang diagnosa. Untuk diagnosa banding, jika diperlukan dapat dilakukan dengan pengambilan sampel jaringan lain untuk pemerikasaan lebih lanjut (Akoso., 2007). 
b.      Mikroskopik
Secara histologis tdak ada perubahan secara spesifik yang terjadi pada jaringan selain pada otak, terkecuali jika diikuti komplikasi dengan penyakit lain.  Secara umum akan terlihat normal tanpa ada perubahan spesifik.  Perubahan yang paling signifkan atau patognomonik adalah adanya badan negeri (negri bodies) yaitu badan inklusi yang terdapat pada sitoplasma sel neuron yang diinfeksi oleh Rabies . Hal yang unik lainnya yang dapat dilihat dari Rabies adalah adanya persitensi virus dalam organ extraneural. Pada kasus-kasus Rabies yang bersifat dumb atau paralytic Rabies dengan bentuk awal dan prominent paralysis, perubahan pada saraf spinal akan sangat terlihat bahkan pada beberapa kasus organ otak juga akan terlihat perubahan denagn memeperlihatakan gejala inflamasi pada batang otak .Adanya perlakuan postexposure, vaksin Rabies dan perlakuan lainnya memungkinkan perubahan patologi yang bervariasi tetapi hal yang paling penting adalah adanya badan negri dan Nodul glial pada temuan pathologi penyakit yang disebabkan Rabies.
Tidak adanya temuan badan negri pada setiap kasus dengan gejala Rabies terkadang terjadi. Hal ini disebabkan karena tidak terjaringnya badan negri dalam sampel jaringan. Keberadaan badan negri sangat jarang, sehingga penjaringan sampel yang tepat untuk Rabies dan pengamatan hewan tersangka (sampai dengan 14 hari) sangatlah penting adanya.   Pengambilan sampel sebaiknya diambil pada jaringan dengan neuro besar seperti hipokampus, mesenfalon, otak kecil dan berbagai macam ganglia sehingga kemungkinan untuk mendeteksi adanya badan negri lebih besar (Akoso., 2007). 

B.     Distemper.
1.      Etiologi Distemper.
Distemper adalah salah satu penyakit menular yang menyerang anjing. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus dalam genus Morbillivirus dari famili Paramyxoviridae dan mempunyai hubungan dekat dengan virus measles dan rinderpest. Virus distemper dapat menyerang famili Canidae, Mustelidae, dan Procyonidae. Penyakit tersebut telah dilaporkan kejadiannya pada mamalia air seperti anjing laut dan anjing liar di Afrika. Walau pun kucing dan babi telah dapat diinfeksi secara eksperimental, hal tersebut dianggap tidak penting dalam penyebaran distemper anjing. Virus distemper tidak dapat bertahan lama di luar induk semang dan peka terhadap desinfektan seperti senyawa fenol atau ammonium kuaterner (Erawan et all, 2009).
Virus distemper termasuk virus yang besar ukurannya. Diameternya antara 150-300 um dengan nukleocapsid simetris (nucleocapsid of helical symetryl) dan terbungkus lipoprotein (lipoprotein envelope). Virus distemper terdiri atas 6 struktur protein yaitu Nukleoprotein (N) dan 2 enzim (P dan L) pada nukleocapsidnya, juga membran protein (M) di sebelah dalam dan 2 protein lagi (H dan F) pada bungkus lipoprotein di sebelah luar. Hemaglutinasi protein hanya terjadi pada virus measle tetapi tidak pada virus morbili lainnya. Distemper pada anjing adalah merupakan ancaman serius, mungkin merupakan ancaman utama pada anjing. Distemper adalah suatu penyakit yang menular pada anjing, serigala, anjing hutan, rakun, cerpelai, dan sejenis musang (Dharmojono, 2001).
Virus distemper termasuk dalam famili Paramyxoviridae, genus morbilivirus dan spesies Canine Deistemper Virus. Terdapat hanya satu serotipe virus, tetapi galur beraneka ragam. Virus menjadi tidak aktif dengan cepat pada temperatur 37ºC dan dalam beberapa jam pada temperatur kamar. Desinfektan dengan mudah dapat merusak infektivitas virus (Fenner dkk, 1993).
Canine distemper lebih sering menyerang pada anjing muda yang berumur 3-.9 bulan. Ini biasa terjadi pada hewan di bawah tekanan atau anjing yang terisolasi dari anjing lainnya. Penyakit distemper kira-kira 90% pada anjing berakibat fatal jika tidak ada perawatan pada anjing yang menderita distemper tersebut. Jika ada anjing yang bisa bertahan, maka banyak yang akan menderita kerusakan permanent pada sistem saraf ( otak dan tulang belakang), parsial atau total kelumpuhan sering terjadi, atau otot /anggotagerak tidak dapat dikendalikan sehingga terdapat gangguan secara berkala (Lane & Cooper, 2003).

2.      Patogenesis Distemper.
Penularan virus lewat udara menyebabkan infeksi ke dalam sel makrofag alat pernafasan. Virus mula-mula akan berkembang di dalam kelenjar getah bening lokal dan kemudian dalam 7 hari ke seluruh jaringan kelenjar getah bening. Dalam 3-6 hari setelah infeksi virus distemper suhu badan akan meninggi dan interferon virus mulai masuk ke dalam peredaran darah. Dalam minggu kedua dan ketiga pasca infeksi, anjing mulai membentuk zat kebal baik humoral maupun seluler untuk merespon infeksi dan jika mampu mengatasi virus distemper anjing tersebut akan sembuh tanpa menunjukkan gejala klinik. Apabila tidak mampu mengatasi virus tersebut maka anjing tersebut akan memperlihatkan penyakit baik akut atau subakut (Dharmojono, 2001).
Anjing yang tidak mampu mempertahankan diri pada fase awal, maka akan diikuti terjadinya viremia dan infeksi diseluruh organ limphatik, kemudian limfosit dan makrofag yang terinfeksi akan membawa virus ke permukaan epitel dari alat pencernaan, alat pernafasan, dan saluran urogenital sampai ke susunan syaraf pusat (CNS) (Merck and Co, 1986). Strain virus yang mampu menginfeksi secara akut dan fatal secara jelas kelihatan merusak CNS. Gejala-gejala CNS dapat timbul pada anjing yang sebelumnya tidak memperlihatkan penyakit ini (Dharmojono, 2001).

3.      Gejala Klinis Distemper.
Masa inkubasi distemper 6-8 hari dengan gejala samar-samar dan baru jelas setelah 2-3 minggu. Kemudian terjadi demam yang intermitten. Saat awal kejadian diikuti leukopenia dan limfopenia kemudian netrofilia. Gangguan respirasi segera terjadi dengan pengeluaran leleran hidung kental, mukopurulen dan leleran air mata yang lama-lama juga bersifat mukopurulen. Penderita tampak lesu, depresi, batuk-batuk, anoreksia dan meungkin juga disertai diare dengan tinja yang berbau busuk. Telapak kaki juga menjadi keras karena kurang cairan. Gejala syaraf berupa paralisis atau paresis yang dimulai dari tubuh bagian belakang . Jika berjalan terlihat adanya inkoordinasi kaki-kaki dan ataksia. Gerak menguyah yang semakin lama semakin sering dan diikuti hipersalivasi. Penderita tidak mampu mengontrol miksturisi (Subronto, 2006).
Gejala klinis pada kasus akut ditandai timbulnya demam dan kematian secara mendadak. Anoreksia, pengeluaran lendir, konjungtivitis dan depresi biasa terjadi selama stadium ini.
Setelah masa inkubasi 3-7 hari, anjing yang terinfeksi menderita 2 fase :
1)      Fase mukosa : ditandai dengan gejala muntah dan diare, kulit yang tebal dan keras pada hidung serta bantalan kaki (”Hard Pad Disease”).
2)      Fase Neurology/saraf (gejala klasik dimulai dari gemeretak dan gemetar dari rahang, gangguan hebat ke seluruh tubuh :”Chewing Gum Fit”): tremor, hilang keseimbangan dan tungkai menjadi lemah, jika keadaan melanjut bisa menyebabkan kematian atau dapat juga menjadi non progresif dan permanen (MacLachlan et al,.2011).
Beberapa anjing terutama dapat menderita gangguan pernafasan dan juga terjadi gangguan pencernaan. Gejala pertama dari bentuk pulmonaris (paru) adalah peradangan cair dari laring dan bronchi, tonsillitis dan batuk. Selanjutnya terjadi bronchitis atau bronchopneumonia cair dan kadang-kadang pleuritis. Sehingga hewan menunjukkan dyspnoe dan takypnoe. Kemudian terlihat adanya akumulasi mukopurulen didaerah canthus medial mata, anjing terlihat depresi dan anoreksia kemudian berkembang menjadi diare. Gejala saluran pencernaan meliputi muntah yang hebat dan mencret berair. Setelah mulainya penyakit, gangguan syaraf pusat dapat diamati pada sejumlah anjing, dicirikan oleh perubahan tingkah laku, pergerakan yang dipaksakan, spamus, serangan menyerupai ayan, ataxia, dan paresis.Pada beberapa penderita akan memperlihatkan gejala CNS dan diikuti gejala penyakit sistemik. Gejala CNS antara lain : hiperestesia, depresi, ataxia, paresis atau paralisa, dan tremor otot, encephalitis. Pada anjing tua adanya gejala encephalitis sangat berkurang sejak diperkenalkannya vaksin aktif distemper. Encephalitis dapat menyebabkan kerusakan mental yang fatal Gejala klinis lain diantaranya, hewan selalu ingin tidur , hyperkeratosis pada hidung dan bantalan kaki dan lesi pada syaraf mata dan retina (Dharmojono., 2001).



4.      Perubahan Patologis Distemper.
Kelainan ocular pada canine distemper meliputi lesio retinochoroidal terutama pada bagian peripheral dan midperipheral nontapetal fundus. Neuritis pada optik dapat menyebabkan gangguan pengelihatan. Lesio patologi-anatomi dari canine distemper meliputi kongesti paru-paru dan konsolidasi akibat adanya pneumonia. Badan sel bersifat eosinofilik bentuk bulat dan ovoid ditemukan pada sel epitel dari kulit, bronchus, usus, traktus urinaria, duktus empedu, kelenjar saliva, adrenal, sistem saraf pusat, limfonodus, dan limpa. Pada saat nekropsi, biasanya ditemukan limpa yang membengkak. Nekropsi pada hewan pernah dilakukan dan ditemukan lesio hemoragi parah pada jejunum dan colon disertai konsolidasi paru-paru. Evaluasi secara histopatologi ditemukan reaksi inflamasi ringan sampai kronis pada usus halus dimana terdapat hiperplasia dari epitel bagian basal sebagai proses regenerasi awal. Pada vesica urinaria, epitel peralihan mengalami penebalan dan terdapat badan inklusi eosinofilik.
Secara miroskopis, canine distemper virus ditandai dengan adanya badan inklusi intranuklear dan intrasitoplasmik yang memiliki ukuran yang bervariasi dengan bentuk bulat sampai ovoid. Badan inklusi ini sering ditemukan pada sel epitel kulit, bronchus, gastrointestinal, traktus urinaria, duktus empedu, kelenjar saliva, dan adrenal. Hal ini juga dapat ditemukan pada sistem saraf pusat dan sel reticuloendotelial pada limpa dan limfonodus. Pada paru-paru, virus ini menginduksi sel raksasa multinuklear di dalam alveolus dan epitel bronchus. Bronchial pneumonia purulent dapat terjadi oleh serangan infeksi sekunder setelah terjadi pneumonia interstitialis. Di dalam beberapa kasus didapatkan keadaan nekrosis dan involusi dari jaringan limfatik. Hal ini juga dapat menyebabkan deplesi dari limfosit yang sudah matang pada germinal center dari limpa (Wicaksono, 2009).
Lesio pada otak terjadi sebagai gangguan yang terjadi pada distemper dengan gejala saraf. Pada kasus ini terdapat encephalitis purulent diffuse dengan badan inklusi yang ditemukan pada sel glia dan histiosit. Tedapat degenerasi neuron, demyelinasi, gliosis, dan perivascular cuffing. Meningitis nonsupuratif juga dapat terjadi. Encephalitis meliputi bagian grey dan white matter. Grey matter terpengaruh jika terdapat gangguan saraf yang terjadi secara akut (Wicaksono, 2009).
Encephalitis pada bagian white matter biasanya menyebabkan demyelinasi tanpa adanya peradangan. Lesio pada bagian white matter merupakan akibat dari infeksi distemper kronis. Lesio berbentuk multifokus berada pada organ otak, medulla spinalis, dan traktus optikus. Pada cairan cerebrospinalis akan tejadi peningkatan protein dan bisa terdapat atau tidak terdapat limphocytic monocytic pleiocytosis. Pada lima puluh persen dari hewan yang terkena distemper, terdeteksi adanya titer antibodi pada sistem saraf pusat (Wicaksono, 2009).
Lesio okular pada canine distemper meliputi demyelinasi dan peradangan nonsupuratif pada optic radiation dan traktus optikus. Terdapat infiltrasi sel radang pada ciliary body, degenerasi dari ganglion retina, edema retina, dan fokus-fokus bagian retina yang terlepas (Wicaksono, 2009).
Gejala saraf disertai demam yang diikuti oleh gangguan respirasi, oculo-nasal discharge, diare, dan atau hiperkeratosis bantalan kaki merupakan ciri-ciri yang mengarah pada canine distemper, walaupun tidak ada gejala patognomonis dari penyakit ini (Wicaksono, 2009).
Hasil nekropsi dapat menunjukkan gejala-gejala yang didiagnosa sebagai distemper pada anjing. Hal ini dapat dilihat pada lesio paru-paru yang mengalami pneumonia interstitialis dilanjutkan dengan pneumonia alveolaris sebagai akibat dari adanya infeksi sekunder bakteri. Enteritis kattharalis et hemoragis yang parah juga terlihat dan dapat diakibatkan oleh paramyxovirus penyebab distemper. Dengan kondisi demikian, perjalanan virus menginfeksi tubuh sudah berlangsung sistemik sehingga peradangan sampai ke sistem saraf pusat dimana sudah terjadi meningoencephalitis yang sudah parah (Wicaksono, 2009).
Dengan menurunnya sistem kekebalan, infeksi sekunder dengan mudah dapat terjadi yang menyebabkan peradangan pada bagian luar tubuh yaitu kulit sebagai pertahanan tubuh pertama. Diawali dengan echymosa dan dilanjutkan dengan terbentuknya pustula pada bagian tubuh yang jarang ditumbuhi rambut, dan jika berlangsung kronis menyebabkan hiperkeratosis pada kulit tersebut. Peneguhan diagnosa distemper ini juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara histopatologis (Wicaksono, 2009).


Daftar Pustaka.
Dharmojono, H. 2001. Kapita Selecta Kedokteran Veteriner, Edisi I. Jakarta: Pustaka Popular Obor.
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lane, D., & Cooper, B. 2003. Veterinary Nursing, 3rd.ed. Burlington: Butterworth Heineman.
Elcamo, E. I. 1997. Fundamentals of Microbiology. New York: The Benjamin Cummings Publishing Company.
Fenner, F. J., Gibbs, E. P., Murphy, F. A., Rott, R., Studdert, M., & White, D. O. 1993. Virologi Veteriner.Semarang: IKIP Semarang Press.
Wicaksono, A. 2009. Canine Distemper Virus . Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar