Sabtu, 01 Maret 2014

15.4

" Lahir Kembar ".
Thursday, January 9th 2014
Learning Objectives.
Jelaskan tentang gangguan abomasum ( Etiologi, Gejala Klinis, Patogenesis, Diagnosa dan Terapi serta Pencegahannya ).
Pembahasan.
1.      Displasia Abomasum
Displasia abomasum (DA) adalah gangguan pencernaan pada ruminansia yang disebabakan oleh tergesernya abomasum dari tempat aslinya, ditandai dengan anoreksia total atau parsial, berkurangnya jumlah tinja yang dikeluarkan, dan pada kebanyakan kejadian diikuti dengan ketonuria yang persisten.
            Pergeseran abomasum pada sebagian besar kejadian (lebih kurang 90%) mengarah kekiri, hingga sebagian besar abomasum tergeser dan terletak di sebelah kiri dari rumen, di belakang omasum, dengan kurvatura mayor abomasum yang terjepit di antara rumen dan dinding perut sebelah ventral. Pada pergeseran abomasum ke arah kanan lambung tersebut terletak di antara hati dan dinding perut sebelah kanan. Dapat juga pada pergeseran kearah kanan tersebut abomasum tergeser ke belakang sampai di daerah panggul sebelah kanan. Pergeseran abomasum kearah kanan juga sering disebut pembesaran (dilatasi) atau pemutaran (torsio, pemuntiran) terletak di antara retikulum dan diafragma. Pada umumnya disetujui bahwa istilah DA hanya digunakan untuk menggambarkan penggeseran abomasum kearah kiri atau left displacement of abomasum.
Etiologi
Kejadian Left Displacement Abomasum paling sering dilaporkan pada sapi perah yang dikandangkan terlalu lama, dengan makanan penguat (konsentrat) biji-bijian dalam jumlah berlebihan. Perbandingan antara konsentrat dengan rumput berhubungan dengan kejadian Displasia abomasum, semakin tinggi pemberian konsentat maka makin tinggi pula kemungkinan terjadinya Displasia abomasum (Anonim, 2009).
Selain itu, sapi-sapi yang memiliki ukuran tubuh lebih besar memiliki resiko kejadian lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena pada sapi-sapi yang berukuran besar ternyata organ-organ dalam tubuhnya mudah bergeser. Penyebab lainnya dapat juga disebabkan karena hipokalsemia, penyakit-penyakit lain yang bersamaan seperti ketosis dan metritis (Anonim, 2009).
Kejadian DA ditemukan juga pada pedet yang mulai di beri konsentrat. Pedet tersebut diberikan konsentrat yang berlebih dan pernah terjadi juga pada kandang kelompok sehingga sebagian pedet lebih dominan dan memakan konsentrat lebih banyak.
Beberapa kelainan atau gangguan pada masa periparturien yang beresiko menyebabkan DA meliputi : distokia, kelahiran kembar, metritis, ketosis atau milk fever. Gangguan tersebut kebanyakan menyebabkan kekurangan kadar Ca darah atau akibat adanya endotoksin sehingga mengakibatkan terjadinga atoni abomasum & akumulasi gas yang mengakibatkan terjadinya Displasia Abomasum (Anonim, 2009).
A.  Patogenesis
Kejadian ini sebenarnya dimulai pada saat masa kering kandang (dry) pada saat sapi mempersiapkan kelahiran. Pakan yang rendah energi dan kurang serat membuat metabolisme rumen menjadi lembek. Kebutuhan energi sapi secara normal akan meningkat setelah melahirkan dan secara naluriah, nafsu makannya akan berkurang. Karena tantangannya adalah memasukkan energi sebanyak mungkin ke tubuh sapi pada saat nafsu makannya rendah. Bagi sapi-sapi tertentu, kebiasaan ini akan teratasi jika sapi sudah dibiasakan dengan pakan yang kaya serat dan energi pada saat sekitar 2 minggu sebelum melahirkan (challenge feed during transition period) sehingga pada saat setelah melahirkan, dia tetap akan mendapat energi yang cukup (Kurniawan, 2008).
Namun pakan yang miskin serat dan energi pada masa transisi akan membuat nafsu makannya semakin berkurang setelah melahirkan. Kondisi ini menyebabkan rumen tidak segera terisi dan akibatnya celah ini akan diisi oleh abomasum yang letaknya pada saat itu sangat dekat dengan rongga kosong yang sebelumnya diisi oleh pedet. Efek yang mengkhawatirkan adalah adanya obstruksi abomasum yang menyebabkan fermentasi terus menerus di abomasum dimana gas yang dihasilkan semakin lama akan semakin memperbesar ukuran abomasum bahkan bisa mengiritasi dinding abomasum. Gas di dalam abomasum itulah yang menciptakan suara ping (ping sound) (Kurniawan, 2008).

B.   Gejala Klinis
Gejala awal dari kasus LDA adalah adanya gangguan pada nafsu makan yang disertai dengan gejala kesakitan pada abdomen dan adanya timpani rumen. Selain itu, hewan terlihat anoreksia, produksi susu turun, terjadi penurunan dari frekuensi dan intensitas gerak rumen dan feses terlihat lebih gelap dan berair. Biasa terjadi pada saat hewan berada dalam masa akhir kebuntingan atau setelah melahirkan (2 minggu pre partus sampai dengan 8 minggu post partus) (Subronto, 1995).
Saat dilakukan auskultasi dan perkusi pada daerah yang mengalami displasia terdengar bunyi seperti logam dipukul (ping-ping) yaitu ‘ping sound’ yang merupakan gejala klinis yang khas pada kasus ini. Pemeriksaan kondisi fisik secara umum, dapat terlihat bagian abdomen yang asimetris antara kiri dan kanan jika dilihat dari belakang (bagian kiri terlihat lebih besar) (Anonim, 2010).
C.  Diagnosis
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, terutama dengan auskultasi dan perkusi dinding perut terdengar adanya suara khas yang nyaring yang sering disebut tinkling sound atau ping sound. Diagnosis juga dapat dilakukan dengan pengambilan dan pengukuran pH cairan Abomasum. Pada sapi yang mengalami Displasia Abomasum biasanya mempunyai pH cairan abomasum kurang dari 2 (Anonim, 2009).
1.      Perkusi pada area di bawah garis bayangan yang ditarik dari tengah – tengah fossa paralumbar kiri ke olekranon, sekitar rongga intercostae ke-10 akan terdengar suara resonan khusus yang terdengar berdenting karena gas yang terjebak di abomasum.
2.      Pemeriksaan kadar benda keton dalam darah dan urin.
Gambar lokasi pemeriksaan pada LDA :
 

Gambar lokasi pemeriksaan pada RDA :
 
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar