Sabtu, 01 Maret 2014

15.6

" Anestrus pada Sapi "
Thursday, January 23rd 2014

Learning Objectives.
Jelaskan mengenai Anestrus, meliputi etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, prognosis, terapi dan pencegahan ! (Normal, Genetik, Hormonal, Manajemen pakan, Penyakit, dan Psikologis)

Pembahasan.
            Anestrus adalah keadaan di mana hewan tidak menunjukkan birahi dan tidak memunculkan birahi. Anestrus dapat bersifat normal ataupun patologis (non-normal). Pada keadaan anestrus kelenjar Hipotalamus anterior tidak mensekresikan GnRH, dan kelenjar Pitutary tidak mensekresikan LH dan FSH sehingga kegiatan pada ovaria terganggu yaitu proses folikulogenesis dan pembentukkan Corpora Luteal (Edward, 2005).
            Pada keadaan normal anestrus terjadi khususnya pada hewan monoestrus (pada hewan yang siklus estrusnya satu kali setiap tahun. Pada hewan polyestrus, kejadian anestrus normalnya terjadi pada saat prapubertas, bunting, laktasi, dan tua (menopaus) (Smith, 2002).
            Anestrus secara patologis non-infeksius terjadi karena hypofungsi ovary, hypoplasia ovary, sista, Corpus Luteal Persisten, dan genetic. Kejadian anestrus secara non-infeksius disebabkan oleh berbagai factor, yaitu nutrisi, strees, factor herediter (Smith, 2002).

1.      True anestrus (anestrus normal)
Abnormalitas ini ditandai dengan tidak adanya aktivitas siklik dari ovaria, penyebabnya karena tidak cukupnya produksi gonadotropin atau karena ovaria tidak respon terhadap hormon gonadotropin. Secara perrektal pada sapi dara akan teraba kecil, rata dan halus, sedangkan kalau pada sapi tua ovaria akan teraba irreguler (tidak teratur) karena adanya korpus luteum yang regresi (melebur).
2.      Anestrus karena genetik (kongenital)
Anestrus karena faktor genetik yang sering terjadi adalah hipoplasia ovarium dan agenesis ovaria.
Gangguan karena cacat kongenital atau bawaan lahir dapat terjadi pada ovarium (indung telur) dan pada saluran reproduksinya. Gangguan pada ovarium meliputi: Hipoplasia ovaria (indung telur mengecil) dan Agenesis ovaria (indung telur tidak terbentuk). Hipoplasia ovaria merupakan suatu keadaan indung telur tidak berkembang karena keturunan (Ratnawati et all, 2007).
Hipoplasia ovaria dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral. Apabila terjadi pada salah satu indung telur maka sapi akan menunjukan gejala anestrus (tidak pernah birahi) dan apabila terjadi pada kedua indung telur maka sapi akan steril (majir). Secara perrektal indung telur akan teraba kecil, pipih dengan permukaan berkerut (Toelihere, 1985).
Agenesis ovaria merupakan suatu keadaan sapi tidak mempunyai indung telur karena keturunan. Dapat terjadi secara unilateral (salah satu indung telur) ataupun bilateral (kedua indung telur).
Cacat turunan juga dapat terjadi pada saluran alat reproduksi, diantaranya : Freemartin (abnormalitas kembar jantan dan betina) dan atresia vulva (pengecilan vulva). Kelahiran kembar pedet jantan dan betina pada umumnya (lebih dari 92%) mengalami abnormalitas yang disebut dengan freemartin (Prihatno, 2004).
Abnormalitas ini terjadi pada fase organogenesis (pembentukan organ dari embrio di dalam kandungan), kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya migrasi hormon jantan melalui anastomosis vascular (hubungan pembuluh darah) ke pedet betina dan karena adanya intersexuality (kelainan kromosom). Organ betina sapi freemartin tidak berkembang (ovaria hipoplastik) dan ditemukan juga organ jantan (glandula vesikularis). Sapi betina nampak kejantanan seperti tumbuh rambut kasar di sekitar vulva, pinggul ramping dengan hymen persisten (Prihatno, 2004).
Sedangkan Atresia Vulva merupakan suatu kondisi pada sapi induk dengan vulva kecil dan ini membawa resiko pada kelahiran sehingga sangat memungkinkan terjadi distokia (kesulitan melahirkan) (Prihatno, 2004).

3.      Anestrus karena gangguan hormon (fungsional)
Biasanya terjadi karena tingginya kadar progesteron (hormon kebuntingan) dalam darah atau akibat kekurangan hormon gonadotropin.
Salah satu penyebab gangguan reproduksi adalah adanya gangguan fungsional (organ reproduksi tidak berfungsi dengan baik). Infertilitas bentuk fungsional ini disebabkan oleh adanya abnormalitas hormonal. Berikut adalah contoh kasus gangguan fungsional, diantaranya :
a.       Sista ovarium
Status ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu atau lebih struktur berisi cairan dan lebih besar dibanding dengan folikel masak. Penyebab terjadinya sista ovarium adalah gangguan ovulasi dan endokrin (rendahnya hormon LH). Sedangkan faktor predisposisinya adalah herediter, problem sosial dan diet protein (Prihatno, 2004).
Adanya sista tersebut menjadikan folikel degraf (folikel masak) tidak berovulasi (anovulasi) tetapi mengalami regresi (melebur) atau mengalami luteinisasi sehingga ukuran folikel meningkat, adanya degenerasi lapisan sel granulosa dan menetap paling sedikit 10 hari. Akibatnya sapi –sapi menjadi anestrus atau malah menjadi nymphomania (kawin terus) (Prihatno, 2004).
Sista folikel pada sapi
b.      Subestrus dan birahi tenang (Silent Heat)
Subestrus merupakan suatu keadaan dimana gejala birahi yang berlangsung singkat/ pendek (hanya 3- 4 jam) dan disertai ovulasi (pelepasan telur). Birahi tenang merupakan suatu keadaan sapi dengan aktifitas ovarium dan adanya ovulasi namun tidak disertai dengan gejala estrus yang jelas (Prihatno, 2004).
Penyebab kejadian ini diantaranya: rendahnya estrogen (karena defisiensi β karotin, P, Co, Kobalt dan berat badan yang rendah ). Apabila terdapat corpus luteum maka dapat diterapi dengan PGF2α (prostaglandin) dan diikuti dengan pemberian GnRH (Gonadotropin Releasing Hormon) (Prihatno, 2004).

c.       Ovulasi Tertunda
Ovulasi tertunda (delayed ovulation) merupakan suatu kondisi ovulasi yang tertunda/ tidak tepat waktu. Hal ini dapat menyebabkan perkawinan/ IB tidak tepat waktu, sehingga fertilisasi (pembuahan) tidak terjadi dan akhirnya gagal untuk bunting. Penyebab utama ovulasi tertunda adalah rendahnya kadar LH dalam darah. Gejala yang nampak pada kasus ini adalah adanya kawin berulang (repeat breeding). Terapi yang dapat dilakukan diantaranya dengan injeksi GnRH (100-250 μg gonadorelin) saat IB (Ratnawati et all, 2007).

4.      Anestrus karena kekurangan nutrisi
Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan gagalnya produksi dan pelepasan hormon gonadotropin, terutama FSH dan LH, akibatnya ovarium tidak aktif (Ratnawati et all, 2007).
Faktor manajemen sangat erat hubungannya dengan faktor pakan/ nutrisi. Jika tubuh kekurangan nutrisi terutama untuk jangka waktu yang lama maka akan mempengaruhi fungsi reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah dan akhirnya produktifitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi hipofisis anterior sehingga produksi dan sekresi hormon FSH dan LH rendah (karena tidak cukupnya ATP), akibatnya ovarium tidak berkembang (hipofungsi) (Ratnawati et all, 2007).
Pengaruh lainnya pada saat ovulasi, transport sperma, fertilisasi, pembelahan sel, perkembangan embrio dan fetus. Kekurangan nutrisi yang terjadi pada masa pubertas sampai beranak pertama maka kemungkinannya adalah : birahi tenang, defek ovulatory (kelainan ovulasi), gagal konsepsi, kematian embrio/ fetus (Ratnawati et all, 2007).
Nutrisi yang sangat menunjang untuk saluran reproduksi diantaranya: protein, vitamin A, mineral/ vitamin (P, Kopper, Kobalt, Manganese, Iodine, Selenium). Selain nutrisi tersebut di atas, yang perlu diperhatikan adalah adanya ransum yang harus dihindari selama masa kebuntingan karena dapat menyebabkan abortus (keguguran), diantaranya: racun daun cemara, nitrat, ergotamin, napthalen, khlor dan arsenik (Ratnawati et all, 2007).
Nutrisi terhadap Hormonal Sapi :
a.       Pengaruh nutrisi pada masa pubertas
Penelitian pada efek nutrisi terhadap pencapaian pubertas, sebagian besar menunda pubertas menyangkut perubahan level induksi pakan pada laju pertumbuhan. Pada ovarium, feed intake rendah yang menunda pubertas adalah disertai penurunan perkembangan folikel ovarium, pada sapi betina adalah folikel dominan lebih kecil. Ini terjadi meskipun cukup Gonadothrophin, seperti diduga oleh respon glandula pituitary terhadap dosis fisiologi GnRH (Gunawan, 2004).

b.      Nutrisi dan Laju Ovulasi
Perubahan laju ovulasi secara umum terjadi saat durasi waktu dimana kelangsungan hidup folikel gonadotrophin-dependent meningkat Pada kasus respon ovulasi terhadap nutrisi, kedua elemen mekanisme dapat beroperasi. Melalui pengaruh ini terhadap feedback hormon mengontrol sekresi gonadotrophin, mungkin nutrisi, dilain pihak, perubahan level dan durasi memulai folikel gonadotrophin-dependent terhadap FSH. Pada pihak lain, sejak pengaruh nutrisi terhadap sirkulasi FSH konsentrasi tetap samar, hal ini juga telah dinyatakan bahwa nutrisi (glukosa, asam-asam amino) dan nutrisi yang berhubungan dengan metabolit (insulin, growth hormon, IGFs dan IGFs binding protein) yang secara tak langsung berpengaruh pada respon ovulasi terhadap nutrisi, mungkin berlangsung pada level ovarium menurunkan jumlah kebutuhan FSH untuk mendukung folikel-folikel gonadotrophindependent.

c.       Nutrisi dan Interval kelahiran rebreeding
Cepat turunnya konsentrasi estradiol saat kelahiran menghilangkan feedback negatif pada aksis hipothalamic-pituitary, kemudian menstimulasi sintesa mRNAs untuk gonadotrophin. Hal ini diikuti oleh peningkatan LH/FSH pada pituitary, peningkatan aktifitas generator pulse GnRH, perkembangan folikel ovarium dan, pada kasus sapi, seleksi folikel dominan untuk ovulasi. Meskipun banyak peristiwa ini dapat terjadi selama periode kurang nutrisi pada ovulasi, dihalangi oleh tidak cukup sekresi GnRH. Pada sapi pedaging menyusui setelah kelahiran, rata-rata dari melahirkan ke ovulasi pertama adalah 25 hari lebih lama, namun waktu perkembangan folikel dominan dan karakteristik pertumbuhannya tidak signifikan dipengaruhi oleh nutrisi; agaknya perpanjangan periode anoestrus disebabkan oleh kurang nutrisi, adalah terjadi untuk mengulang perkembangan dan atresia folikel-folikel dominan (Gunawan, 2004).
Protein intake rendah dapat mengurangi kejadian perilaku oestrus dan konsepsi pada sapi pedaging tetapi terjadi pada pengaruh perangsang digestible undegradable protein (DUP) pada produksi susu dan meskipun pada peningkatan defisit keseimbangan energi, pakan DUP tinggi dapat juga berpengaruh mengganggu. Hal ini ditunjukan oleh peningkatan yang signifikan pada interval oestrus pertama ketika pakan DUP tinggi berlawanan dengan DUP rendah pada sapi menyusui yang pada kondisi tubuh rendah saat kawin. Disamping dari pengaruh merugikan tak langsung DUP tinggi pada permulaan siklus oestrus pada sapi ini, pengaruh langsung protein pakan terhadap status protein hewan adalah sepertinya menjadi faktor utama yang menentukan dari pengaruh kuat protein pakan terhadap permulaan siklus oestrus setelah melahirkan (Gunawan, 2004).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar