Sabtu, 01 Maret 2014

15.6

" Anestrus pada Sapi "
Thursday, January 23rd 2014

Learning Objectives.
Jelaskan mengenai Anestrus, meliputi etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, prognosis, terapi dan pencegahan ! (Normal, Genetik, Hormonal, Manajemen pakan, Penyakit, dan Psikologis)

Pembahasan.
            Anestrus adalah keadaan di mana hewan tidak menunjukkan birahi dan tidak memunculkan birahi. Anestrus dapat bersifat normal ataupun patologis (non-normal). Pada keadaan anestrus kelenjar Hipotalamus anterior tidak mensekresikan GnRH, dan kelenjar Pitutary tidak mensekresikan LH dan FSH sehingga kegiatan pada ovaria terganggu yaitu proses folikulogenesis dan pembentukkan Corpora Luteal (Edward, 2005).
            Pada keadaan normal anestrus terjadi khususnya pada hewan monoestrus (pada hewan yang siklus estrusnya satu kali setiap tahun. Pada hewan polyestrus, kejadian anestrus normalnya terjadi pada saat prapubertas, bunting, laktasi, dan tua (menopaus) (Smith, 2002).
            Anestrus secara patologis non-infeksius terjadi karena hypofungsi ovary, hypoplasia ovary, sista, Corpus Luteal Persisten, dan genetic. Kejadian anestrus secara non-infeksius disebabkan oleh berbagai factor, yaitu nutrisi, strees, factor herediter (Smith, 2002).

1.      True anestrus (anestrus normal)
Abnormalitas ini ditandai dengan tidak adanya aktivitas siklik dari ovaria, penyebabnya karena tidak cukupnya produksi gonadotropin atau karena ovaria tidak respon terhadap hormon gonadotropin. Secara perrektal pada sapi dara akan teraba kecil, rata dan halus, sedangkan kalau pada sapi tua ovaria akan teraba irreguler (tidak teratur) karena adanya korpus luteum yang regresi (melebur).
2.      Anestrus karena genetik (kongenital)
Anestrus karena faktor genetik yang sering terjadi adalah hipoplasia ovarium dan agenesis ovaria.
Gangguan karena cacat kongenital atau bawaan lahir dapat terjadi pada ovarium (indung telur) dan pada saluran reproduksinya. Gangguan pada ovarium meliputi: Hipoplasia ovaria (indung telur mengecil) dan Agenesis ovaria (indung telur tidak terbentuk). Hipoplasia ovaria merupakan suatu keadaan indung telur tidak berkembang karena keturunan (Ratnawati et all, 2007).
Hipoplasia ovaria dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral. Apabila terjadi pada salah satu indung telur maka sapi akan menunjukan gejala anestrus (tidak pernah birahi) dan apabila terjadi pada kedua indung telur maka sapi akan steril (majir). Secara perrektal indung telur akan teraba kecil, pipih dengan permukaan berkerut (Toelihere, 1985).
Agenesis ovaria merupakan suatu keadaan sapi tidak mempunyai indung telur karena keturunan. Dapat terjadi secara unilateral (salah satu indung telur) ataupun bilateral (kedua indung telur).
Cacat turunan juga dapat terjadi pada saluran alat reproduksi, diantaranya : Freemartin (abnormalitas kembar jantan dan betina) dan atresia vulva (pengecilan vulva). Kelahiran kembar pedet jantan dan betina pada umumnya (lebih dari 92%) mengalami abnormalitas yang disebut dengan freemartin (Prihatno, 2004).
Abnormalitas ini terjadi pada fase organogenesis (pembentukan organ dari embrio di dalam kandungan), kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya migrasi hormon jantan melalui anastomosis vascular (hubungan pembuluh darah) ke pedet betina dan karena adanya intersexuality (kelainan kromosom). Organ betina sapi freemartin tidak berkembang (ovaria hipoplastik) dan ditemukan juga organ jantan (glandula vesikularis). Sapi betina nampak kejantanan seperti tumbuh rambut kasar di sekitar vulva, pinggul ramping dengan hymen persisten (Prihatno, 2004).
Sedangkan Atresia Vulva merupakan suatu kondisi pada sapi induk dengan vulva kecil dan ini membawa resiko pada kelahiran sehingga sangat memungkinkan terjadi distokia (kesulitan melahirkan) (Prihatno, 2004).

3.      Anestrus karena gangguan hormon (fungsional)
Biasanya terjadi karena tingginya kadar progesteron (hormon kebuntingan) dalam darah atau akibat kekurangan hormon gonadotropin.
Salah satu penyebab gangguan reproduksi adalah adanya gangguan fungsional (organ reproduksi tidak berfungsi dengan baik). Infertilitas bentuk fungsional ini disebabkan oleh adanya abnormalitas hormonal. Berikut adalah contoh kasus gangguan fungsional, diantaranya :
a.       Sista ovarium
Status ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu atau lebih struktur berisi cairan dan lebih besar dibanding dengan folikel masak. Penyebab terjadinya sista ovarium adalah gangguan ovulasi dan endokrin (rendahnya hormon LH). Sedangkan faktor predisposisinya adalah herediter, problem sosial dan diet protein (Prihatno, 2004).
Adanya sista tersebut menjadikan folikel degraf (folikel masak) tidak berovulasi (anovulasi) tetapi mengalami regresi (melebur) atau mengalami luteinisasi sehingga ukuran folikel meningkat, adanya degenerasi lapisan sel granulosa dan menetap paling sedikit 10 hari. Akibatnya sapi –sapi menjadi anestrus atau malah menjadi nymphomania (kawin terus) (Prihatno, 2004).
Sista folikel pada sapi
b.      Subestrus dan birahi tenang (Silent Heat)
Subestrus merupakan suatu keadaan dimana gejala birahi yang berlangsung singkat/ pendek (hanya 3- 4 jam) dan disertai ovulasi (pelepasan telur). Birahi tenang merupakan suatu keadaan sapi dengan aktifitas ovarium dan adanya ovulasi namun tidak disertai dengan gejala estrus yang jelas (Prihatno, 2004).
Penyebab kejadian ini diantaranya: rendahnya estrogen (karena defisiensi β karotin, P, Co, Kobalt dan berat badan yang rendah ). Apabila terdapat corpus luteum maka dapat diterapi dengan PGF2α (prostaglandin) dan diikuti dengan pemberian GnRH (Gonadotropin Releasing Hormon) (Prihatno, 2004).

c.       Ovulasi Tertunda
Ovulasi tertunda (delayed ovulation) merupakan suatu kondisi ovulasi yang tertunda/ tidak tepat waktu. Hal ini dapat menyebabkan perkawinan/ IB tidak tepat waktu, sehingga fertilisasi (pembuahan) tidak terjadi dan akhirnya gagal untuk bunting. Penyebab utama ovulasi tertunda adalah rendahnya kadar LH dalam darah. Gejala yang nampak pada kasus ini adalah adanya kawin berulang (repeat breeding). Terapi yang dapat dilakukan diantaranya dengan injeksi GnRH (100-250 μg gonadorelin) saat IB (Ratnawati et all, 2007).

4.      Anestrus karena kekurangan nutrisi
Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan gagalnya produksi dan pelepasan hormon gonadotropin, terutama FSH dan LH, akibatnya ovarium tidak aktif (Ratnawati et all, 2007).
Faktor manajemen sangat erat hubungannya dengan faktor pakan/ nutrisi. Jika tubuh kekurangan nutrisi terutama untuk jangka waktu yang lama maka akan mempengaruhi fungsi reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah dan akhirnya produktifitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi hipofisis anterior sehingga produksi dan sekresi hormon FSH dan LH rendah (karena tidak cukupnya ATP), akibatnya ovarium tidak berkembang (hipofungsi) (Ratnawati et all, 2007).
Pengaruh lainnya pada saat ovulasi, transport sperma, fertilisasi, pembelahan sel, perkembangan embrio dan fetus. Kekurangan nutrisi yang terjadi pada masa pubertas sampai beranak pertama maka kemungkinannya adalah : birahi tenang, defek ovulatory (kelainan ovulasi), gagal konsepsi, kematian embrio/ fetus (Ratnawati et all, 2007).
Nutrisi yang sangat menunjang untuk saluran reproduksi diantaranya: protein, vitamin A, mineral/ vitamin (P, Kopper, Kobalt, Manganese, Iodine, Selenium). Selain nutrisi tersebut di atas, yang perlu diperhatikan adalah adanya ransum yang harus dihindari selama masa kebuntingan karena dapat menyebabkan abortus (keguguran), diantaranya: racun daun cemara, nitrat, ergotamin, napthalen, khlor dan arsenik (Ratnawati et all, 2007).
Nutrisi terhadap Hormonal Sapi :
a.       Pengaruh nutrisi pada masa pubertas
Penelitian pada efek nutrisi terhadap pencapaian pubertas, sebagian besar menunda pubertas menyangkut perubahan level induksi pakan pada laju pertumbuhan. Pada ovarium, feed intake rendah yang menunda pubertas adalah disertai penurunan perkembangan folikel ovarium, pada sapi betina adalah folikel dominan lebih kecil. Ini terjadi meskipun cukup Gonadothrophin, seperti diduga oleh respon glandula pituitary terhadap dosis fisiologi GnRH (Gunawan, 2004).

b.      Nutrisi dan Laju Ovulasi
Perubahan laju ovulasi secara umum terjadi saat durasi waktu dimana kelangsungan hidup folikel gonadotrophin-dependent meningkat Pada kasus respon ovulasi terhadap nutrisi, kedua elemen mekanisme dapat beroperasi. Melalui pengaruh ini terhadap feedback hormon mengontrol sekresi gonadotrophin, mungkin nutrisi, dilain pihak, perubahan level dan durasi memulai folikel gonadotrophin-dependent terhadap FSH. Pada pihak lain, sejak pengaruh nutrisi terhadap sirkulasi FSH konsentrasi tetap samar, hal ini juga telah dinyatakan bahwa nutrisi (glukosa, asam-asam amino) dan nutrisi yang berhubungan dengan metabolit (insulin, growth hormon, IGFs dan IGFs binding protein) yang secara tak langsung berpengaruh pada respon ovulasi terhadap nutrisi, mungkin berlangsung pada level ovarium menurunkan jumlah kebutuhan FSH untuk mendukung folikel-folikel gonadotrophindependent.

c.       Nutrisi dan Interval kelahiran rebreeding
Cepat turunnya konsentrasi estradiol saat kelahiran menghilangkan feedback negatif pada aksis hipothalamic-pituitary, kemudian menstimulasi sintesa mRNAs untuk gonadotrophin. Hal ini diikuti oleh peningkatan LH/FSH pada pituitary, peningkatan aktifitas generator pulse GnRH, perkembangan folikel ovarium dan, pada kasus sapi, seleksi folikel dominan untuk ovulasi. Meskipun banyak peristiwa ini dapat terjadi selama periode kurang nutrisi pada ovulasi, dihalangi oleh tidak cukup sekresi GnRH. Pada sapi pedaging menyusui setelah kelahiran, rata-rata dari melahirkan ke ovulasi pertama adalah 25 hari lebih lama, namun waktu perkembangan folikel dominan dan karakteristik pertumbuhannya tidak signifikan dipengaruhi oleh nutrisi; agaknya perpanjangan periode anoestrus disebabkan oleh kurang nutrisi, adalah terjadi untuk mengulang perkembangan dan atresia folikel-folikel dominan (Gunawan, 2004).
Protein intake rendah dapat mengurangi kejadian perilaku oestrus dan konsepsi pada sapi pedaging tetapi terjadi pada pengaruh perangsang digestible undegradable protein (DUP) pada produksi susu dan meskipun pada peningkatan defisit keseimbangan energi, pakan DUP tinggi dapat juga berpengaruh mengganggu. Hal ini ditunjukan oleh peningkatan yang signifikan pada interval oestrus pertama ketika pakan DUP tinggi berlawanan dengan DUP rendah pada sapi menyusui yang pada kondisi tubuh rendah saat kawin. Disamping dari pengaruh merugikan tak langsung DUP tinggi pada permulaan siklus oestrus pada sapi ini, pengaruh langsung protein pakan terhadap status protein hewan adalah sepertinya menjadi faktor utama yang menentukan dari pengaruh kuat protein pakan terhadap permulaan siklus oestrus setelah melahirkan (Gunawan, 2004).




15.5

Distokia pada Sapi
Thursday, January  16th  2014
Learning Objectives.
1.      Bagaimana manajemen pengawinan dan pemeliharaan sapi bunting ?
2.      Jelaskan bentuk-bentuk distokia, etiologi, tanda-tanda, diagnosis, prognosis dan penanganan distokia .!!
3.      Bagaimana perawatan induk dan pedet setelah distokia ?

Pembahasan.
1.      Manajemen Pengawinan dan pemeliharaan sapi bunting.

            Dalam rangka menghadapai swasembada daging sapi diperlukan peningkatan populasi sapi potong secara nasional dengan cara meningkatkan jumlah kelahiran pedet dan calon induk sapi dalam jumlah besar. Untuk mendukung peningkatan populasi tersebut terutama pada usaha peternakan rakyat diperlukan suatu teknologi tepat guna spesifik lokasi sesuai dengan kondisi agroekosistem dan kebutuhan pengguna yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.( Affandhy, L dkk , 2007 )
            Namun dalam usaha ternak sapi potong rakyat masih sering muncul beberapa permasalahan, diantaranya masih terjadi kawin berulang (S/C > 2) dan rendahnya angka kebuntingan (< 60 %) sehingga menyebabkan panjangnya jarak beranak pada induk ( > 18 bulan) (Affandhy ., 2006); yang akan berdampak terhadap rendahnya perkembangan populasi sapi Penurunan efisiensi reproduksi dipengaruhi juga oleh faktor manajemen perkawinan yang tidak sesuai dengan kondisi dan lingkungan sekitarnya, sehinggga terindikasi terjadinya kawin yang berulang pada induk sapi potong di tingkat usaha ternak rakyat yang menyebabkan rendahnya keberhasilan kebuntingan dan panjangnya jarak beranak. Diperlukan suatu cara atau teknik manajemen perkawinan yang tepat sesuai dengan kehendak petani dengan berdasar pada potensi atau kehidupan sosial masyarakat pedesaan, yakni teknik kawin suntik dengan IB beku, cair dan pejantan alami yang mantap dan berkesinambungan.
            Penerapan teknik manajemen perkawinan yang tepat melalui teknik IB maupun perkawinan alam yang sesuai dengan kondisi setempat diharapkan dapat meningkatkan jumlah kelahiran pedet dan jumlah induk berkualitas yang akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani dari usaha sapi potong.( Affandhy, L dkk, 2007 ).
            Teknik manajemen perkawinan sapi potong dapat dilakukandengan menggunakan  (1) Intensifikasi kawin alam (IKA) dengan pejantan terpilih, (2) teknik inseminasi buatan (IB) dengan semen beku dan teknik IB dengan semen cair;
Intensifikasi kawin alam (IKA)
            Melalui distribusi pejantan unggul terseleksi dari bangsa sapi lokal atau impor dengan tiga manajemen perkawinan, yakni: (1) perkawinan model kandang individu, (2) perkawinan model kandang kelompok/umbaran, (3) perkawinan model padang pengembalaan









Perkawianan di Kandang Individu.
            Kandang individu adalah model kandang dimana setiap ekor sapi menempati dan diikat pada satu ruangan; antar ruangan kandang individu dibatasi dengan suatu sekat. Kandang invidu di peternak rakyat, biasanya berupa ruangan besar yang diisi lebih dari satu sapi, tanpa ada penyekat tetapi setiap sapi diikat satu persatu. Model Perkawinan kandang individu dimulai dengan melakukan pengamatan birahi pada setiap ekor sapi induk dan perkawinandilakukan satu induk sapi dengan satu pejantan (kawin alam) atau dengan satu straw (kawin IB). Biasanya kandang individu yang sedang bunting beranak sampai menyusui pedetnya.



Perkawinan di kandang kelompok.
            Kandang terdiri dari dua bagian, yaitu sepertiga sampai setengah luasan bagian depan adalah beratap/diberi naungan dan sisanya di bagian belakang berupa areal terbuka yang berpagar sebagai tempat pelombaran. Ukuran kandang (panjang x lebarnya) tergantung pada jumlah ternak yang menempati kandang, yaitu untuk setiap ekor sapi dewasa membutuhkan luasan sekitar 20 – 30 m2. Bahan dan alatnya: dibuat dari semen atau batu padas, dinding terbuka tapi berpagar, atap dari genteng serta dilengkapi tempat pakan, minum dan lampu penerang.
Perkawinan model mini rench
Manajemen perkawinan model ren dapat dilakukan oleh kelompok perbibitan sapi potong rakyat yang memiliki areal ren berpagar pada kelompok usaha bersama.
Perkawinan model padang pengembalaan (angonan).
            Manajemen perkawinan dengan cara angon dapat dilakukan oleh petani atau kemitraan antara kelompok perbibitan sapi potong rakyat dengan perkebunan atau kehutanan.


            Pengaturan manajemen perkawinan dan teknik pemberian pakan saat beranak, kawin, sapih dan bunting tua pada sapi potong induk diharapkan mengikuti suatu model yang dikenal sebagai/dengan kalender perkawinan dan program pemberian pakan (surge feeding) pre dan pasca beranak. Tujuan kalender ini untuk mempercepat birahi kembali setelah beranak untuk segera dikawinkan dan memudahkan terjadi fertilisasi (kebuntingan) berikutnya. (Affandy, L dkk. 2007).
2.      Bentuk-bentuk Distokia.

a.      Unilateral carpal flexion posture
Definisi: Hanya ada 1 kaki yang terlipat, kaki yang normal dan kepala ditemukan di dalam atau menonjol di vagina. Flexi karpal dari kaki depan yang lain ditemukan pada inlt atau terjepit dalam vagina.
Presentasi: longitudinal anterior, posisi : dorsosacrum, posture: carpal flexion (unilateral).
Penanganan: Pada flexi carpal unilateral, satu kaki akan terjulur keluar ke vulva, kemudian diikat dengan tali dan membiarkannya terjulur keluar. Dengan porok kebinadanan, direpulsikan, kaki yang mengalami flexi di ekstensikan, lalu ujungnya diikat dengan tali. Fetus ditarik keluar.

 Manipulasi
   Prinsip penanganan:
a.     Repulsi              : mendorong fetus sepanjang saluran peranakan kearah uterus
b.    Extensi              : pembetulan letak bagian-bagian fetus yang mengalami fleksi
c.     Rotasi                : memutar tubuh fetus sepanjang sumbu longitudinal
d.    Versio                : memutar fetus kedepan/ kebelakang
e.     Retraksi            : penarikan fetus keluar dari tubuh induk

b.    Bilateral carpal flexion posture
Definisi: Ada 2 kaki yang mengalami flexi carpal, ditemukan pada inlet pelvis atau terjepit dalam vagina.
Presentasi : longitudinal, posisi : dorsosacrum, postur : bilateral carpal flexion.
Penanganan: Mencari 1 kaki yang mengalami flexi dengan cara merepulsikan kemudian diekstensikan, menarik keluar 1 kaki dan diikat dengan tali. Untuk kaki yang sama, diperlakukan dengan cara yang sama seperti sebelumnya, dan fetus ditarik keluar.

c.     Shoulder flexion posture
Definisi: Jika kedua kaki terlipat, dan hanya kepala fetus yang menonjol keluar vagina atau vulva. Kaki tersebut mungkin benkak. Jika hanya ada 1 kaki yang terkena, kaki yang lain menonjol dari vulva dengan kepala.
Presentasi: longitudinal anterior, posisi: dorsosacrum, postur: shoulder flexion.
Penanganan: Satu kaki yang normal akan menjulur keluar, diikat dengan tali dan dibiarkan menjulur keluar. Kemudian direpulsikan, bahu yang mengalammi flexi diekstensikan, ujung diikat dengan tali, fetus ditarik keluar.
d.    Head neck flexion posture (lateral)
Definisi: Kaki depan fetus biasanya ditemukan dalam vagina dan kaki-kakinya dapat menonjol melewati vulva. Kadang-kadang leher fetus berotasi ke arah lateral (kanan/kiri).
Presentasi: longitudinal anterior, posisi: dorsosacrum, postur: head neck flexion (lateral).
Penanganan: Kaki fetus yang keluar diikat dengan tali, fetus direpulsi, kepala dan leher yang mengalami flexi diekstensikan yaitu dengan mengaitkan tali pada rahang bawah fetus, tarik pelan-pelan. Dengan bantuan kedua tali pada ujung kaki, fetus ditarik keluar.
e.     Head neck flexion posture (ke ventral)/vertex
Definisi: Kepala dapat disimpangkan ke bawah anatar kaki depan yang berbatasan dengan sternum dalam postur dada kepala.
Presentasi: longitudinal anterior, posisi: dorsosacrum, postur: head neck flexion (ventral).
Penanganan: Kaki fetus yang keluar diikat dengan tali, repulsikan fetus dan angkat moncong ke atas menuju pelvis. Jika kepala tidak dipindahkan di bawah kaki depan, tidak cukup ruang untuk menuju pelvis, kecuali salah satu kaki depan digerakkan ke belakang ke  dalam uterus. Jika kepala sudah didapat, kaki deoan ditempatkan kembali, kemuadian tarik fetus keluar.
f.      Hock flexion posture
 Definisi: Ujung ekor fetus dapat menonjol dari vulva dan pergelangan kaki yang mengalami flexi teraba pada inlet pelvis tau terkunci dalam pelvis. Jika hanya 1 kaki saja yang mengalami flexi pada hock, yang lainnya dapat enjulur ke vulva.
Presentasi : longitudinal posterior, posisi : dorsosacrum, postur : heck flexion.
Penanganan: Fetus direpulsikan, ikat ujung kaki belakang dengan tali, kemudian tali tersebut dilewatkan pertengahan teracak ditarik keluar. Ujung teracak dilindungi agar tidak melukai saluran peranakan induk. Dengan bantuan tali tersebut, fetus ditarik keluar.
g.     Unilateral hip flexion posture
Definisi: Salah satu panggunl tertekuk ke dalam, sedangkan tali belakang yang lain terjulur keluar.
Presentasi: longitudinal posterior, posisi: dorsosacrum, postur: unilateral hip flexion.
Penanganan: Kaki yang keluar diikat dengan tali, fetus direpulsikan, kaki belakang/pinggul yang mengalami flexi diekstensikan dengan hati-hati. Lindungi teracak agar tidak melukai uterus.
h.     Unilateral tarsal flexion posture
Definisi: Jika salah satu kaki belakang terjulur keluar sedangkan  flexi tarsal dari kaki belakang yang lain ditemukan pada inlet pelvis atau terjepit dalam vagina.
Presentasi: longitudinal posterior, posisi: dorsosacrum, postur: unilateral sacral flexion.
Penanganan: Ikat kaki yang keluar dengan tali, fetus direpulsikan kemudian kaki yang mengalami flexi distensi, kemudian ujungnya diikat dengan tali. Dan fetus ditarik keluar.
i.         Posterior presentation, ventral position (bilateral hock flexion)
 Definisi: Jika kedua kaki belakang terjulur keluar, sedang kan posisi tubuh adalah ventral.
 Presentasi : longitudinal posterior, posisi : dorso pubis, postur : bilateral hock flexion.
Penanganan: Kedua ujung kaki masing-masing diikat dengan tali, pegang salah satu pangkal kaki sambil mendorong ke dalam, kemudian dilakukan rotasi ke arahh dorsal position. Dengan bantuan tali tersebut, fetus ditarik keluar.

j.         Transversal presentation, cephaloillial dextra position.
 Definisi: Punggung dari fetus menghadap ke arah vulva.
Presentasi : transverso-dorsal, posisi : chepalo-illial dextro, postur : unilateral hip flexion.
Penanganan: Pegang kaki yang mudah didapat, kemudian fetus direpulsikan. Putar fetus ke arah ventral position, presentasi bisa anterior/posterior. Rotasikan fetus ke arah dorsal position, dengan tali yang diikatkan pada badan/ujung kaki fetus, tarik keluar (Cady, 2009).

.    Prosedur penanganan:
a.     Anamnesa. Berguna untuk mengetahui riwayat induk dan riwayat kejadian seperti lama kebuntingan, sejarah perkawinan, apakah distokia pernah terjadi sebelumnya, apakah hewan memperlihatkan atau menderita penyakit selama 2 bualn terakhir sampai menjelang partus (Toelihere, 1981).
b.    Pemeriksaan umum. Mencakup hal-hal: sikap berdiri sapi, suhu tubuh, pulsus, warna selaput lendir, kondisi vulva (Toelihere, 1981).
c.     Pemeriksaan khusus. seperti: mengekang hewan, dalam kondisi rebah semua kaki diikat, pemeriksaan saluran kelahiran apakah dilatasi, berputar, lembab dan licin, berdarah, bengkak, nekrotik, ukuran inlet pelvis, vagina dan vulva, pemeriksaan fetus hidup atau telah mati, dan pemeriksaan presentasi, posisi dan postur fetus (Toelihere, 1981).
d.    Anestesi epidural jika diperlukan.
e.     Diberi cairan janin buatan jika saluran peranakan sudah mengering.
f.      Tindakan, berdasarkan hasil diagnosa.
3.    Contoh tindakan manipulasi berdasarkan permasalahannya:

3.      Perawatan Induk dan Pedet.

Jika terdapat keragu-raguan tentang status mineral sapi, harus diberikan lebih banyak.
b.      Jika terdapat penyakit spesifik, mastitis dan hati berlemak segera lakukan penanganan
c.       Jika terdapat cedera pasca distokia seperti laserasi harus segera ditangani.
d.      Memberikan makanan dan minuman yang membangkitkan selera makan
e.       Sapi harus dipertahankan pada kondisi rebah sternal tetapi berbaring pada seperempat bagian belakangatau sisi lainnya. Hal ini berhubungan dengan titik – titik tekanan abominal pasca kelahiran.
f.       Perawatan ambing, jika ambing sedang memproduksi susu diperah pada jangka waktu yang teratur.
g.      Permukaan lantai tidak boleh licin, kotsk yang beralas tebal atau rumput lapangan dapat digunakan.
h.      Mengangkat sapi, hal ini akan membantu untuk mengetahui sapi dapat menopang dirinya sendiri atau tidak.
i.        Terapi obat non – spesifik dapat menstimulasi sapi yang rebah untuk berdiri. Seperti ripelannamine hidroklorida dosis 10 mL/450kg IV.
j.        Kemajuan harus dipantau setiap hari dan didiskusikan dengan pemilik. (Jackson, 2007).
Pedet
Pasca fetus dari kasus distokia harus dipastikan fetus masih hidup atau sudah mati yaitu dengan cara melihat ciri-ciri fetus yang hidup yaitu :
Ciri Fetus Hidup ;
a.    Respon positif pada penarikan pedal dan reflex palpebral.
b.   Respon pada tekanan pada bola mata atau cubitan hidung atau telinga.
c.    Gerak reflex menghisap jika jari ditempatkan pada mulut anak sapi.
d.   Kontraksi anal sphincter ketika jari dimasukkan (Jackson,2007).
Setelah memastikan fetus benar-benar hidup, langkah selanjutnya menyadarkan anak sapi :
a.    Membersihkan jalan udara : anak sapi digantungkan  dengan kakinya dari balok yang nyaman atau digantung pada pintu. Dengan alat penghisap untuk memastikan hilangnya lender pada mulut, farink, larink dan saluran hidung.
b.   Memeriksa denyut jantung fetus
c.    Penegakan respirasi saat jantung berdenyut :dapat dirangsang dengan mencubit hidung atau kaki fetus, menusuk nasal filtrum atau mencipratkan air dingin ke bagian kepala.
       Perawatan selanjutnya anak sapi harus didorong untuk minum kolostrum dalam 6 jam kelahiran. Pusarnya harus dicelupkan dalam iodin atau disemprot aerosol antibiotic setelah sadar juga pemeriksaan pusar secara berkala untuk memastikan hemoraghi yang tertunda dari umbilicus tidak terjadi (Jackson,2007).
Adapun cara yaitu pembuatan klostrum buatan dengan bahan :
a.    Susu skim 12 sendok makan (bahan dasar kolostrum).
b.   Garam dapur 1 sendok makan (elektrolit pengganti NaCl) dan MgSO4 (laksansia).
c.    Kuning telur 1-2 butir (sumber lemak, protein dan imunoglobin).
d.   Madu (sumber vitamin dan tenaga).
e.    Antibiotik (antibakteri).
f.    Air hangat dan gula jawa (pelarut).
             Cara pembuatannya panaskan air dalam keadaan mendidih lalu tuangkan pada wadah yang telah dicampur semua bahan diatas, aduk rata dan siap di berikan pada fetus yang baru lahir (Manan,2001).


Daftar Pustaka

Affandhy, L ; Dikman, DM dan Aryogi. 2007. Petunjuk Teknis Perkawinan
            Sapi Potong.Pasuruan : Agro Inovasi.
Azmi, Z. 2010. Gangguan Reproduksi Pada Ternak.  Yogyakarta.
Bearden,2004. Applied Animal reproduction. London : Pearson Prentice Hall

            Cady, R.A. 2009. Dystocia—Difficult Calving, What It Costs and How to Avoid             It.www.wvu.edu/~agexten/forglvst/Dairy/dirm20.pdf .  
            Jackson, P, G. 2007. Handbook Obstetrik Veteriner Edisi ke-2. Yogyakarta :
                        Gadjah Mada University Press.
            Manan, D. 2001. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Banda Aceh : Universitas Syah Kuala.
              Toelihere, Mozes R. 1981. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kebau. Jakarta : UI Press.