" Anestrus pada Sapi "
Thursday, January 23rd
2014
Learning
Objectives.
Jelaskan mengenai
Anestrus, meliputi etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, prognosis,
terapi dan pencegahan ! (Normal, Genetik, Hormonal, Manajemen pakan, Penyakit,
dan Psikologis)
Pembahasan.
Anestrus adalah keadaan di mana
hewan tidak menunjukkan birahi dan tidak memunculkan birahi. Anestrus dapat
bersifat normal ataupun patologis (non-normal). Pada keadaan anestrus kelenjar
Hipotalamus anterior tidak mensekresikan GnRH, dan kelenjar Pitutary tidak
mensekresikan LH dan FSH sehingga kegiatan pada ovaria terganggu yaitu proses
folikulogenesis dan pembentukkan Corpora Luteal (Edward, 2005).
Pada keadaan normal anestrus terjadi
khususnya pada hewan monoestrus (pada hewan yang siklus estrusnya satu kali
setiap tahun. Pada hewan polyestrus, kejadian anestrus normalnya terjadi pada
saat prapubertas, bunting, laktasi, dan tua (menopaus) (Smith, 2002).
Anestrus secara patologis
non-infeksius terjadi karena hypofungsi ovary, hypoplasia ovary, sista, Corpus
Luteal Persisten, dan genetic. Kejadian anestrus secara non-infeksius
disebabkan oleh berbagai factor, yaitu nutrisi, strees, factor herediter
(Smith, 2002).
1. True anestrus (anestrus
normal)
Abnormalitas ini ditandai dengan tidak adanya
aktivitas siklik dari ovaria, penyebabnya karena tidak cukupnya produksi
gonadotropin atau karena ovaria tidak respon terhadap hormon gonadotropin.
Secara perrektal pada sapi dara akan teraba kecil, rata dan halus, sedangkan
kalau pada sapi tua ovaria akan teraba irreguler (tidak teratur) karena adanya
korpus luteum yang regresi (melebur).
2.
Anestrus
karena genetik (kongenital)
Anestrus
karena faktor genetik yang sering terjadi adalah hipoplasia ovarium dan
agenesis ovaria.
Gangguan
karena cacat kongenital atau bawaan lahir dapat terjadi pada ovarium (indung
telur) dan pada saluran reproduksinya. Gangguan pada ovarium meliputi: Hipoplasia
ovaria (indung telur mengecil) dan Agenesis ovaria (indung telur
tidak terbentuk). Hipoplasia ovaria merupakan suatu keadaan indung telur
tidak berkembang karena keturunan (Ratnawati et all, 2007).
Hipoplasia ovaria
dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral. Apabila terjadi pada salah
satu indung telur maka sapi akan menunjukan gejala anestrus (tidak pernah
birahi) dan apabila terjadi pada kedua indung telur maka sapi akan steril
(majir). Secara perrektal indung telur akan teraba kecil, pipih dengan
permukaan berkerut (Toelihere, 1985).
Agenesis
ovaria merupakan suatu keadaan sapi tidak
mempunyai indung telur karena keturunan. Dapat terjadi secara unilateral (salah
satu indung telur) ataupun bilateral (kedua indung telur).
Cacat
turunan juga dapat terjadi pada saluran alat reproduksi, diantaranya : Freemartin
(abnormalitas kembar jantan dan betina) dan atresia vulva (pengecilan
vulva). Kelahiran kembar pedet jantan dan betina pada umumnya (lebih dari 92%)
mengalami abnormalitas yang disebut dengan freemartin (Prihatno, 2004).
Abnormalitas
ini terjadi pada fase organogenesis (pembentukan organ dari embrio di
dalam kandungan), kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya migrasi hormon
jantan melalui anastomosis vascular (hubungan pembuluh darah) ke pedet
betina dan karena adanya intersexuality (kelainan kromosom). Organ
betina sapi freemartin tidak berkembang (ovaria hipoplastik) dan
ditemukan juga organ jantan (glandula vesikularis). Sapi betina nampak
kejantanan seperti tumbuh rambut kasar di sekitar vulva, pinggul ramping dengan
hymen persisten (Prihatno, 2004).
Sedangkan
Atresia Vulva merupakan suatu kondisi pada sapi induk dengan vulva kecil
dan ini membawa resiko pada kelahiran sehingga sangat memungkinkan terjadi distokia
(kesulitan melahirkan) (Prihatno, 2004).
3.
Anestrus
karena gangguan hormon (fungsional)
Biasanya
terjadi karena tingginya kadar progesteron (hormon kebuntingan) dalam darah
atau akibat kekurangan hormon gonadotropin.
Salah
satu penyebab gangguan reproduksi adalah adanya gangguan fungsional (organ
reproduksi tidak berfungsi dengan baik). Infertilitas bentuk fungsional ini
disebabkan oleh adanya abnormalitas hormonal. Berikut adalah contoh kasus
gangguan fungsional, diantaranya :
a.
Sista ovarium
Status
ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu atau lebih struktur berisi
cairan dan lebih besar dibanding dengan folikel masak. Penyebab terjadinya
sista ovarium adalah gangguan ovulasi dan endokrin (rendahnya hormon LH).
Sedangkan faktor predisposisinya adalah herediter, problem sosial dan diet
protein (Prihatno, 2004).
Adanya
sista tersebut menjadikan folikel degraf (folikel masak) tidak berovulasi
(anovulasi) tetapi mengalami regresi (melebur) atau mengalami luteinisasi
sehingga ukuran folikel meningkat, adanya degenerasi lapisan sel granulosa dan
menetap paling sedikit 10 hari. Akibatnya sapi –sapi menjadi anestrus atau
malah menjadi nymphomania (kawin terus) (Prihatno, 2004).
Sista
folikel pada sapi
b.
Subestrus dan birahi
tenang (Silent Heat)
Subestrus
merupakan suatu keadaan dimana gejala birahi yang berlangsung singkat/ pendek
(hanya 3- 4 jam) dan disertai ovulasi (pelepasan telur). Birahi tenang
merupakan suatu keadaan sapi dengan aktifitas ovarium dan adanya ovulasi namun
tidak disertai dengan gejala estrus yang jelas (Prihatno, 2004).
Penyebab
kejadian ini diantaranya: rendahnya estrogen (karena defisiensi β karotin, P,
Co, Kobalt dan berat badan yang rendah ). Apabila terdapat corpus luteum maka
dapat diterapi dengan PGF2α (prostaglandin) dan diikuti dengan pemberian GnRH
(Gonadotropin Releasing Hormon) (Prihatno, 2004).
c.
Ovulasi Tertunda
Ovulasi
tertunda (delayed ovulation) merupakan suatu kondisi ovulasi yang tertunda/
tidak tepat waktu. Hal ini dapat menyebabkan perkawinan/ IB tidak tepat waktu,
sehingga fertilisasi (pembuahan) tidak terjadi dan akhirnya gagal untuk
bunting. Penyebab utama ovulasi tertunda adalah rendahnya kadar LH dalam darah.
Gejala yang nampak pada kasus ini adalah adanya kawin berulang (repeat
breeding). Terapi yang dapat dilakukan diantaranya dengan injeksi GnRH (100-250
μg gonadorelin) saat IB (Ratnawati et all, 2007).
4.
Anestrus
karena kekurangan nutrisi
Kekurangan
nutrisi dapat menyebabkan gagalnya produksi dan pelepasan hormon gonadotropin,
terutama FSH dan LH, akibatnya ovarium tidak aktif (Ratnawati et all, 2007).
Faktor
manajemen sangat erat hubungannya dengan faktor pakan/ nutrisi. Jika tubuh
kekurangan nutrisi terutama untuk jangka waktu yang lama maka akan mempengaruhi
fungsi reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah dan akhirnya
produktifitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi hipofisis
anterior sehingga produksi dan sekresi hormon FSH dan LH rendah (karena tidak
cukupnya ATP), akibatnya ovarium tidak berkembang (hipofungsi) (Ratnawati et
all, 2007).
Pengaruh
lainnya pada saat ovulasi, transport sperma, fertilisasi, pembelahan sel,
perkembangan embrio dan fetus. Kekurangan nutrisi yang terjadi pada masa
pubertas sampai beranak pertama maka kemungkinannya adalah : birahi tenang, defek
ovulatory (kelainan ovulasi), gagal konsepsi, kematian embrio/ fetus (Ratnawati
et all, 2007).
Nutrisi
yang sangat menunjang untuk saluran reproduksi diantaranya: protein, vitamin A,
mineral/ vitamin (P, Kopper, Kobalt, Manganese, Iodine, Selenium). Selain
nutrisi tersebut di atas, yang perlu diperhatikan adalah adanya ransum yang
harus dihindari selama masa kebuntingan karena dapat menyebabkan abortus
(keguguran), diantaranya: racun daun cemara, nitrat, ergotamin, napthalen,
khlor dan arsenik (Ratnawati et all, 2007).
Nutrisi terhadap Hormonal Sapi
:
a. Pengaruh
nutrisi pada masa pubertas
Penelitian
pada efek nutrisi terhadap pencapaian pubertas, sebagian besar menunda pubertas
menyangkut perubahan level induksi pakan pada laju pertumbuhan. Pada ovarium,
feed intake rendah yang menunda pubertas adalah disertai penurunan perkembangan
folikel ovarium, pada sapi betina adalah folikel dominan lebih kecil. Ini
terjadi meskipun cukup Gonadothrophin, seperti diduga oleh respon glandula
pituitary terhadap dosis fisiologi GnRH (Gunawan, 2004).
b. Nutrisi
dan Laju Ovulasi
Perubahan
laju ovulasi secara umum terjadi saat durasi waktu dimana kelangsungan hidup
folikel gonadotrophin-dependent meningkat Pada kasus respon ovulasi terhadap
nutrisi, kedua elemen mekanisme dapat beroperasi. Melalui pengaruh ini terhadap
feedback hormon mengontrol sekresi gonadotrophin, mungkin nutrisi, dilain
pihak, perubahan level dan durasi memulai folikel gonadotrophin-dependent
terhadap FSH. Pada pihak lain, sejak pengaruh nutrisi terhadap sirkulasi FSH
konsentrasi tetap samar, hal ini juga telah dinyatakan bahwa nutrisi (glukosa,
asam-asam amino) dan nutrisi yang berhubungan dengan metabolit (insulin, growth
hormon, IGFs dan IGFs binding protein) yang secara tak langsung berpengaruh
pada respon ovulasi terhadap nutrisi, mungkin berlangsung pada level ovarium
menurunkan jumlah kebutuhan FSH untuk mendukung folikel-folikel
gonadotrophindependent.
c. Nutrisi dan Interval kelahiran rebreeding
Cepat
turunnya konsentrasi estradiol saat kelahiran menghilangkan feedback negatif
pada aksis hipothalamic-pituitary, kemudian menstimulasi sintesa mRNAs untuk
gonadotrophin. Hal ini diikuti oleh peningkatan LH/FSH pada pituitary,
peningkatan aktifitas generator pulse GnRH, perkembangan folikel ovarium dan,
pada kasus sapi, seleksi folikel dominan untuk ovulasi. Meskipun banyak
peristiwa ini dapat terjadi selama periode kurang nutrisi pada ovulasi,
dihalangi oleh tidak cukup sekresi GnRH. Pada sapi pedaging menyusui setelah
kelahiran, rata-rata dari melahirkan ke ovulasi pertama adalah 25 hari lebih
lama, namun waktu perkembangan folikel dominan dan karakteristik pertumbuhannya
tidak signifikan dipengaruhi oleh nutrisi; agaknya perpanjangan periode
anoestrus disebabkan oleh kurang nutrisi, adalah terjadi untuk mengulang
perkembangan dan atresia folikel-folikel dominan (Gunawan, 2004).
Protein
intake rendah dapat mengurangi kejadian perilaku oestrus dan konsepsi pada sapi
pedaging tetapi terjadi pada pengaruh perangsang digestible undegradable
protein (DUP) pada produksi susu dan meskipun pada peningkatan defisit
keseimbangan energi, pakan DUP tinggi dapat juga berpengaruh mengganggu. Hal
ini ditunjukan oleh peningkatan yang signifikan pada interval oestrus pertama
ketika pakan DUP tinggi berlawanan dengan DUP rendah pada sapi menyusui yang
pada kondisi tubuh rendah saat kawin. Disamping dari pengaruh merugikan tak
langsung DUP tinggi pada permulaan siklus oestrus pada sapi ini, pengaruh
langsung protein pakan terhadap status protein hewan adalah sepertinya menjadi
faktor utama yang menentukan dari pengaruh kuat protein pakan terhadap
permulaan siklus oestrus setelah melahirkan (Gunawan, 2004).