Selasa, 02 Juli 2013

Pemeriksaan Sapi.

“ Bloat “
Wednesday, June 5 th 2013.
Learning Objectives.
1.      Bagaimana pemeriksaan sapi secara legeartis ?
2.      Apa penyebab, gejala dan penanganan Bloat ?
Pembahasan.
1.      Pemeriksaan sapi secara legeartis.
A.    Registrasi
            Registrasi yaitu: pencatatan data pemilik dan data dari pasien. Registrasi untuk klien meliputi pencatatan nama, alamat, dan nomor telepon klien. Registrasi untuk pasien meliputi breed (ras), sex (jenis kelamin), age (umur), dan specific pattern (tanda yang menciri) (B-S-A-S). Registrasi ditulis di sebuah kertas yang disebut ambulatoir, dimana masnig-masing spesies hewan berbeda-beda warnanya, sebagai contoh anjing dan kucing berwarna putih, sapi, hewan besar dan hewan eksotik berwarna pink dan unggas berwarna kuning .
     `      Materi lain untuk Registrasi antara lain Keterangan status vaksinasi dan keadaan kesehatan, keterangan tentang penyakit yang sedang diderita serta penanganan yang sudah dilakukan, alasan konsultasi, sejarah penyakit, hasil Pemeriksaan, hasil pemeriksaan tambahan (laboratorium, Rongent, Histopat dll). Diagnosis, Prognosis, dan terapi/pengobatannya, tindakan operasi dan rujukan
Fungsi dari registrasi antara lain:
a)      Mengingatkan: terutama untuk pasien yang sudah pernah ditangani/diperiksa
b)      Komunikasi: terutama dengan kolega dalam hal rujukan
c)      Pengaturan: Data lebih tertata dan mudah untuk mencarinya
d)      Efesiensi: Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melihat riwayat seekor pasien (Boddie,1956).
B.     Anamnesa
            Anamnesa merupakan wawancara terhadap klien untuk mendapatkan kunci mengenai keadaan pasien. Menurut Boddie (1956), dokter hewan harus dapat memilah-milah mana yang relevan dan irelevan dari jawaban klien terhadap pertanyaan dokter hewan.
            Dengan anamnesa drh dapat mengetahui informasi tentang Gambaran keadaan hewan mulai sakit sampai sekarang, Kejadian – kejadian pada waktu lampau yang ada hubunganya dengan penyakit yang sekarang diderita. Keadaan lingkungan, hewan yang serumah/ sekandang, tetangg dsb
            Menurut Boddie (1956), sejarah dari suatu kasus dapat dibagi menjadi pre historyimmediate history, dan post history.
a)      Prehistory.
 Merupakan ceerita mengenai kejadian-kejadian sebelum terjadinya penyakit yang dikomplainkan klien. Misalnya saja penyakit yang dulu pernah diderita pasien, kehamilan yang dulu pernah dialami pasien (jika betina), komplikasi yang terjadi pada kehamilan yang terdahulu, mungkin  juga penyakit yang pernah dialami teman bermain si anjing, cara pemberian makan, dan mungkin juga keadaan lingkungan tempat tinggal anjing.
b)      Immediate history.
Merupakan sejarah sejak hewannya pertama kali menunjukkan gejala penyakit yang dikomplainkan oleh klien hingga saat pasien dibawa dan dirawat oleh dokter hewan. Di sini klien dapat menceritakan kemungkinan terjadinya penyakit pada klien menurut apa yang dilihatnya.
c)      Post History.
            Merupakan sejarah dimana hewan tersebut menunjukann gejala atau perubahan-perubahan setelah dirujuk ke dokter hewan lain atau dengan pemberian obat terlebih dahulu sebelum dirujuk ke dokter hewan.
Riwayat penyakit atau anamnesis merupakan suatu riwayat penyakit yang baik dari hanya dapat diperoleh dari seorang pengamat yang baik. Seringkali pemilik hewan kurang dapat memberikan keterangan yang berguna disbanding dengan orang yang merawat hewan sehari-hari. Riwayat dapat pula bersifat tidak benar oleh karena riwayat tersebut munkun hendak digunakan untuk menutupi suatu kelainan atau menyembunikan suatu usaha-usaha pengobatan sebelunya sdengan alas an tersebut pertanyaan-pertanyaan yang diajukan harus disusun ulang untuk meyakinkan persoalan-persoalan yang penting dalam pencacatan riwayat (Boddie,1956).
C.    Pemeriksaan Umum
1)      Inspeksi
            Inspeksi merupakan cara pemeriksaan, yang meliputi melihat, membau dan mendengarkan tanpa alat bantu. Inspeksi digunakan untuk meneliti adanya hal lain yang abnormal. Perhatikan ekspresi muka/temperamen, kondisi tubuh, pernapasan (frekuensi, cara pengambilan nafas, ritme dan suara–suara abnormal tanpa melakukan pemeriksaan secara auskultasi, keadaan abdomen, posisi (berdiri/berbaring), sikap, langkah, permukaan tubuh, pengeluaran dan bau abnormal dari lubang-lubang pelepasan (hidung, mulut, anus, telinga, mata), adanya suara abnormal seperti batuk, bersin, ngorok, melenguh, menangis, flatus, eruktasi, dan ruminasinya.
2)      Pulsus dan nafas
Pulsus sapi dapat diraba pada areteri maxillaries externa, a. facialis (raba tepi depan m. masseter dengan jari dan gerakan kemuka dan kebelakang) atau a. coccygea disebelah ventral dari pangkal ekor. Data normal pulsus sapi aalah 54-85 kali/menit.
Sementara frekuensi nafas dapat dihitung dengan memperhatikan gerak toraco-abdominal dalam keadaan hewan istirahat dan tenang atau juga dapat dengan memperhatikan udara yang keluar masuk melalui lubang hidung. Untuk normalnya pada sapi adalah 20 – 42 kali/menit. 
3)      Suhu tubuh
            Sebelumnya olesi ujung thermometer dengan bahan pelican (missal vaselin). Masukkan ujung thermometer ke lubang anus, tunggu sampai angkanya terhenti dan hitung skalanya. Suhu normal pada sapi adalah 37,6oC – 39,2oC.
4)      Selaput lendir
Pemeriksaan conjunctiva dilakukan dengan menggeser ke atas kelopak mata atas dengan ibu jari, gantikan ibu jari dengan telunjuk sedikit ditekan, maka akan tampak conjunctiva palpebrarum. Tekan kelopak mata bawah dengan ibu jari maka conjunctiva palpebrarum bawah akan tampak pula. Pada sapi warna conjunctiva lebih merah dibanding hewan lainnya.
Untuk hidung, mulut dan vulva normalnya selalu basah dan berwarna pink, selain itu lakukan juga pemeriksaan CRT (Capilary Refiil Time / waktu terisinya kembali kapiler) dengan cara membuka bibir hewan kemudian menekan gusi dan melepaskan kembali, waktu normal maximal 2 detik (Indarjulianto et al., 2012).
D.    Pemeriksaan khusus
1)      Sistem pencernaan
Pada sistem pencernaan dilakukan dengan melihat nafsu makan, cara makannya apakah ada kesakitan menelan.
a)      Mulut
Inspeksi pada mulut dengan membuka mulut dengan cara memegang tali hidung dengan tangan kiri dan masukkan tangan kanan ke spatium intraalveolar, pegang lidah dan tarik kesamping mulut terbuka, lalu lihat keadaan mulut apakah ada lesi, benda asing, anomali lain dan juga dicium bau mulutnya. Kemudian lakukan palpasi pada farinx, oesophagus.
b)      Esopahagus
Perhatikan leher sebelah kiri, terutama bila sapi sedang eruktasi, regurgitasi, atau menelan (deglutisi). Lakukan palpasi pangkal esophagus lewat mulut, lakukan palpasi dari luar. Perhatikan bila kemungkinan ada benda asing/ sumbatan pada esophagus. Bila terjadi sumbatan esophagus, ambil sonde kerongkongan yang terbuat dari spiral baja. Ukur dan beri tanda batas setelah diukur panjangnya dari mulut sampai rumen. Olesi ujung sonde (bagian yang besar) dengan vaselin atau pelicin yang tidak merangsang dan aman, buka mulut sedikit dan masukkan ujung sonde ke dalam mulut. Dorong pelan-pelan, biarkan sonde ditelan. Pada keadaan normal sonde dapat ditelan terus sampai tanda batas yang tadi telah ditentukan. Tetapi bila ada sumbatan atau penyempitan maka sonde akan berhenti atau sukar didorong masuk.
c)      Rumen
Kemudian ke arah abdomen bandingkan abdomen kanan dan kiri, perhatikan fossa paralumbalis saat inspeksi. Lakukan palpasi dan auskultasi, hitung gerakan rumen per 5 menit, normalnya 5-10 kali per 5 menit. Lakukan perkusi pada dinding abdomen sebelah kiri pada tiga bagian atas, tengah dan bawah. Normalnya atas suara resonan, tengan semiresonan dan bawah pekak.
d)      Retikulum
Auskultasi daerah retikulum pada kostokondral ke-7 sebelah kiri perhatikan suara aliran ingesti cair. Bisa juga dengan menggunakan bambu yang ditopang dibawah proceccus xiphoideus.
e)      Omasum dan abomasums
Omasum tidak dapat diperiksa secara fisik karena letak anatominya yang tidak terjangkau. Sebagian dinding abomasum menempel pada dinding perut bawah, sebelah belakang dari proceccus xiphoideus. Lakukan perkusi pada daerah ini, bila lambung berisi gas akan terdengar resonansi, atau suara pekak bila terjadi impaction.
f)       Usus, Rectum, dan Anus
Kemudian lanjut ke intestinum di abdomen dexter dengarkan gerakan peristaltiknya secara auskultasi. Kemudian lakukan ekplorasi rektal dengan memasukan tangan pelan-pelan menerobos spingter ani. Bila rektum berisi tinja keluar secara berlahan. Raba dinding rektum sebelah kanan dimana dalam keadaan normal dinding ini tidak akan meampaui bidang media.

2.      Penyebab, gejala dan penanganan Bloat .
Kembung perut (bloat atau tympani) merupakan bentuk penyakit/kelainan alat pencernaan yang bersifat akut, yang disertai penimbunan gas di dalam rumen akibat proses fermentasi berjalan cepat. Bloat pada umunya rentan terhadap ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba), namun tidak menular pada ternak maupun manusia. Tingginya akumulasi gas menekan organ dalan tubuh sehingga menimbulkan kesakitan, pernapasan dengan mulut terbuka atau frekuensi pernapasan tinggi, serta frekuensi pembuangan feses tinggi dan urine meningkat.
Kematian pada ternak ruminansia  yang terserang bloat, biasanya rentan terjadi karena ketidaktahuan dan salah penanganan oleh peternak. Saat ternak mengalami kelumpuhan dengan perut yang kembung, banyak peternak yang memposisikan sapi mereka telentang. Hal itu menyebabkan, jantung sapi terhimpit dengan lebih cepat. Namun penyakit kembung perut tidak membahayakan atau menular ke ternak lain maupun manusia, daging sapi yang terserang penyakit inipun masih aman untuk dikonsumsi. Dampak dari bloat dapat ditekan jika diagnosa dan pengobatan dilakukan sedini mungkin, secara cepat dan tepat.

Penyebab Bloat.
 Bloat/kembung perut dapat disebabkan oleh 2 faktor yaitu: 
1). Faktor makanan/pakan: Pemberian hijauan leguminosa yang berlebihan, hijauan yang terlalu muda, biji bijian yang digiling sampai halus, imbangan antara pakan hijauan dan konsentrat yang tidak seimbang (konsentrat lebih banyak), hijauan yang terlalu banyak dipupuk dengan urea, hijauan yang dipanen sebelum berbunga (terlalu muda) atau sesudah turunnya hujan terutama pada daerah yang sebelumnya kekurangan air, makanan yang rusak/ busuk/ berjamur, rumput/ hijauan yang terkena embun atau terkena air hujan.
 2). Faktor ternak itu sendiri : Faktor keturunan, tingkat kepekaan dari masing masing ternak, ternak bunting yang kondisinya kesehatan menurun, ternak yang sedang sakit atau dalam proses penyembuhan, ternak yang kurang darah (anemia), kelemahan tubuh secara umum.
Selain hal-hal diatas, hal-hal lain yang dapat berkontribusi pada terjadinya kembung sangat beragam, bisa dari suhu dan cuaca, tingkat stress, kebersihan, atau ketersediaan air.
Gejala klinis.
 Ternak merasa gelisah, sakit, dan sulit bernapas; Perut bagian kiri mengalami pembesaran yang bila ditepuk akan berbunyi seperti bedug/gendang; nafsu makan turun bahkan tidak mau makan, punggung membungkuk, denyut jantung melemah, selaput lendir mulut kebiruan; ternak jatuh dan susah bangun lagi, bila dibiarkan ternak dapat mati mendadak.
Pencegahan.
Jangan menggembalakan/melepas ternak terlalu pagi, karena rumput  masih mengandung embun;jangan membiarkan ternak terlalu lapar; hijauan yang akan diberikan hendaknya dilayukan terlebih dahulu; jangan memberikan makanan yang sudah rusak/ busuk/ berjamur; jangan memberikan rumput muda atau rumput yang basah karena embun/ hujan dan rumput yang bercampur kotoran; menghindari leguminosa yang terlalu banyak dalam ransum; hindari pemberian rumput/ hijauan yang terlalu banyak, lebih baik memberikan sedikit demi sedikit tetapi sering kali; selama musim hujan berikan makan berupa pakan ternak kasar sebelum sebelum digembalakan.
Pengobatan.
 1) Secara medis: a). Anti Bloat (bahan aktif: Dimethicone), dosis sapi/ kerbau: 100 ml  obat diencerkan dengan 500 ml air, sedang untuk kambing/ domba: 25 ml obat diencerkan dengan 250 ml air, kemudian diminumkan. b). Wonder Athympanicum, dosis: sapi/ kerbau: 20 – 50 gram, sedang untuk kambing/ domba: 5 – 20 gram, dicampur air secukupnya, kemudian diminumkan. 
2). Secara tradisional. a). Berikan minyak nabati karena minyak berfungsi sebagai pengurai buih, dapat menggunakan minyak nabati atau minyak sayur atau minyak goreng pada dosis 150-300 ml segera setelah bloat terdeteksi; b). Susu murni sebanyak 1 liter juga dapat dijadikan alternatif untuk membuyarkan buih; c). Getah pepaya 2 sendok makan, lalu tambahkan garam dapur 1 sendok makan. Campurkan secara merata dan tambah air dalam botol air mineral kemudian diminumkan; d). Campur 100 gr asam jawa dan 100 ml air putih, diremas-remas lalu disaring dan 3 sendok makan garam yang diberikan secara terpisah. Cara pemberian obat yakni ternak dalam posisi berdiri, kepala dikondisikan mendongak, mulut dibuka, kemudian dalam kondisi mulut menganga garam dilempar dengan sedikit sentakan dan usahakan mengenai faring agar menimbulkan rasa geli sehingga memacu saraf ternak untuk batuk atau mendehem, kemudian baru larutan asam garam tersebut diminumkan sehingga sisa-sisa garam ikut tertelan. Larutan asam ini nantinya akan mengeluarkan lendir yang mengandung gas beracun dengan cepat. Sehingga, reaksi batuk ini akan memacu lendir keluar dan akhirnya ternak bisa bernafas kembali. Dosis pemberiannya dapat bertahap, tergantung tingkat serangan, umur dan berat badan;
 3). Secara kasar : Membuang tekanan gas dengan paksa dengan cara melubangi dinding perut sapi. Bisa dengan menggunakan trokar (semacam penusuk, mirip paku tapi lebih besar) yang ditusukkan pada perut kiri atas, di belakang tulang rusuk.
Gas yang terjebak dapat keluar melalui lubang tersebut. Apabila trokar tidak tersedia, sembarang alat yang tajam sepeti jarum suntik, jarum besar atau paku dan pisau bisa juga digunakan untuk membuat lubang sedalam kira-kira 2,5 cm. Setelah ditusukkan, pisau jangan dicabut, tapi diputar miring sehingga gas bisa keluar. Namun demikian tindakan ini sebaiknya dipandang sebagai cara terakhir, karena bila salah dapat merobek rumen. Apabila ini terjadi dokter harus melakukan jahitan dan memberikan antibiotik untuk menghindari infeksi.
86537Trokar adalah alat yang digunakan untuk trokarisasi, tersusun atas stillet dan manset, didisain untuk hewan besar. Manset terbuat dari stainless stell yang bentuknya lebih besar dari paku dengan ujung runcing segitiga agar memunculkan sayatan ketika menusuk rumen ( abdominal bagian kiri ) dan stillet terbuat dari bahan plastic yang lembut, diselubungkan pada manset untuk dijadikan rongga ketika proses trocarisasi.

Daftar Pustaka.
Boddie, G. (1956). Diagnostic Methods in Veterinary Medicine. London: Oliver and Boyd.
McCurnin, D.M and Bassert,J,M. (2005). Clinical Textbook for Veterinary Technicians 6th Edition. London: Elsevier Health Sciences.

Murtidjo, B A. 2012. Sapi Potong. Yogyakarta: Kanisius.

Pemeriksaan Burung.

Pemeriksaan Burung.
Thursday, June 27 th  2013.

Learning Objectives.
1.      Bagaimana pemeriksaan burung secara legeartis ?
2.      Bagaimana Handling dan Restrain pada burung ?
3.      Bagaimana patologi air sacculitis pada burung ?

Pembahasan.
1.      Pemeriksaan burung secera legeartis.
a.       Registrasi
Lakukan registrasi pasien. Catat nama pemilik, alamat, nomor telepon, jenis satwa, nama satwa (bila ada) dan signalemen yang meliputi breed, sex, age dan specific sign/pattern. Untuk burung eksotik digunakan kertas ambulator berwarna pink, sedangkan pada unggas digunakan ambulatoir kuning.
b.      Anamnesa
Lakukan anamnesa secara lengkap. Kumpulkan informasi selengkap mungkin (past history; asal hewan, berapa lama dipelihara, riwayat medis/sakit, populasi, dll; immediate history; kapan mulai bermasalah, pakan harian, gejala yang tampak, pengobatan yang sudah dilakukan, dll).

c.       Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan umum pada burung meliputi inspeksi, baik jarak jauh maupun dekat. Lakukan inspeksi jarak jauh untuk mengetahui jenis hewannya, respon terhadap gerakan (burung liar biasanya bersifat agresif menabrak-nabrak kandang). Dekati burung secara hati-hati. Lakukan inspeksi jarak dekat untuk mengetahui breed, kondisi tubuh, kulit, sisik kaki, pola warna, specific sign/pattern, adanya cacat tubuh (paruh, sayap, ekor, jari, dll.) serta pembacaan Identity number  (No. ID seperti ring, mikrochip bila ada).
Untuk burung yang dapat dihandel, tangkap burung dengan hati-hati, pegang pada baian kaki dan paruh. Setelah kondisinya tidak berontak barulah dilakukan pemeriksaan fisik. Pada burung yang beresiko bila dihandel sebaiknya pemeriksaan dilakukan secara inspeksi/visual dan pemeriksaan sampel feses untuk mengurangi faktor resiko.
Selanjutnya periksa kondisi umum burung. Burung yang sehat memiliki bulu primer dan penutup tubuh yang lengkap, bersih dan terlihat rapi, bersih dan mengkilat, bulu disekitar kloaka bersih dengan feses normal. Burung sakit biasanya bulunya kusam, rontok dan tampak berdiri, bila ada indikasi diare biasanya bulu disekitar kloaka kotor dan lengket. Kondisi tubuh juga mudah diketahui dengan melihat otot dada. Burung sehat memiliki otot dada yang tebal, penuh dan cenderung membulat. Burung sakit biasanya mengalami dehidrasi, otot dada tipis dengan sternum yang menonjol seperti bilah pisau.
Pemeriksaan bulu meliputi inspeksi dan adspeksi adanya kerontokan bulu/ tidak. Selain itu juga dilihat apakah ada parasit atau tidak. Bulu terbagi atas bulu primer 10 helai ke arah luar. Bulu sekunder 10 helai ke arah dalam, bulu tersier di atasnya. Sedangkan bulu ekor terdiri dari 8-12 pasang bulu. Pemeriksaan umur bisa dengan melihat ring yang dipasang atau dengan melihat pertumbuhan bulu ventral. Jika bulu 4 berarti umur kurang dari 4 bulan.
Selanjutnya pemeriksaan pada bagian kepala, pada burung yang sehat mata terlihat bersih dan bersinar dengan paruh normal, dan tidak ada eksudat. Jika ada kelainan seperti mata sayu, lengket, merem, adanya eksudat, leleran mengindikasikan burung tidak sehat. Bila perlu buka paruh/mulut untuk melihat kondisi bagian dalam. Burung sehat memiliki rongga mulut yang bersih, tidak ada eksudat,  maupun leleran. Pemeriksaan selaput lendir dapat dilakukan dengan inspeksi conjungtiva mata, lihat ada tidaknya lesi. Jangan menggunakan penlight. Pada lubang hidung amati adanya leleran atau eksudat.

d.      Pemeriksaan Khusus  
1.      Pemeriksaan Pencernaan
Diawali dengan inspeksi pada mulut meliputi paruh, kemudian dibuka dan diamati kedaan lidah dan mukosa. Kloaka dapat diperiksa dengan melihat kondisinya apakah terlihat ada lesi, luka, kotoran, leleran feses atau anomaly.
2.      Pemeriksaan nafas
Susah dilakukan karena metabolisme yang tinggi. Tapi pada umumnya frekuensi nafas sangat tinggi, 100-200 kali per menit.
3.      Pemeriksaan Genitalia
Sexing pada burung berbeda-beda berdasarkan spesies. Umumnya dapat dilakukan dengan meraba tulang pelvis dimana betina tulang pelvis lebih lebar dan lunak sementara jantan keras dan sempit. 
ü  Sexing monomorfisme
Pada sexing monomorfisme, burung tidak bisa dibedakan secara visual melalui penampakan ciri. Pada burung ini untuk melihat jantan atau betina dengan melihat tulang pelvis (supid), betina tulang pelvis lebih lebar dan lunak sementara jantan keras dan sempit.
ü  Sexing secara dimorfisme
Dilakukan pada spsies burung yang memiliki bentuk fisik berbeda antara betina dan jantan. Contoh:
·         Budgerigar jantan memiliki cere biru, dan betina berwarna cokelat
·         Cockatiels jantan memiliki warna solid di ekor dan oranye di patch pipi, sedangkan betina memiliki cahaya horisontal gelap untuk bagian bawah
ekor dan patch pucat di pipi.
·         Kakaktua Eclectus jantan berwarna hijau dengan paruh kuning dan betina berwarna merah dan biru tua dengan paruh hitam.
·         Kakatua jantan iris gelap coklat dan betina merah / coklat
·         Burung kenari jantan akan menyanyi selama breeding season.
·         Elang betina lebih besar dari burung jantan, hanya setengan ukurannya. beo abu.
ü  Sexing dengan pembedahan
Burung dianasthesi untuk selanjutnya dilakukan pembedahan untuk melihat organ reproduksinya (contoh macaw)
ü  Sexing dengan DNA
Sexing DNA membutuhkan sampel darah atau pulp dari bulu. Kemudian diuji di laboratorium. Burung yang betina adalah heterogametic seks (ZW), dan jantan adalah homogamet (ZZ).
4.      Pemeriksaan Sirkulasi
Pada jantung, auskultasi di bagian ventral sebelah kiri perhatikan frekuensi, ritme dan kualitasnya. Pengambilan darah di vena brachialis, intracardiaca, vena jugularis atau vena metatarsal mediana.
5.      Pemeriksaan Musculoskeletal
Inspeksi pada cara berdiri, cara berjalan dan cara terbang untuk mengetahui adanya abnormalitas pada extremitas dan sayap. Periksa apakah sayap asimetris dan lemas yang merupakan indikasi patahnya sayap.



2.      Handling dan Restrain pada burung.
a.       Kepala dan mata
Bagian kepala merupakan titik awal yang perlu diamankan saat menangkap maupun mengawali handling. Seperti halnya satwa pada umumnya, saat kepala tertutup dan pandangan mata terhalangi maka burung pemangsa akan relatif lebih tenang. Langkah menutupi keseluruhan kepala dengan kantong ataupun kain berwarna gelap sering dilakukan saat pertama kali burung pemangsa tertangkap. Penutup kepala khusus sangat dianjurkan untuk dikenakan bagi burung pemangsa agar pandangan terus terhalangi hingga menggurangi sikap agresif dan stress.
b.      Kaki dan cakar
Kaki juga merupakan bagian tubuh yang perlu diamankan saat mengawali handling. Kaki dengan cakar tajam burung pemangsa merupakan senjata yang sama tajam dan berbahaya. Membatasi gerakan kaki dapat dilakukan dengan memegang langsung maupun dengan mengikatnya. Memegang kaki difokuskan pada kedua bagian tarsus dengan menyatukannya secara kuat. Trik untuk mempermudah dalam mengendalikan kedua tarsus adalah dengan menjepit kedua tarsus dengan jari tengah dan ibu jari serta memasukkan jari telunjuk di antara kedua tarsus sehingga masing-masing terpegang erat.
c.       Sayap
Cedera pada sayap burung pemangsa sangat berpengaruh pada kemampuan terbang yang berarti mengganggu aktivitas berburu. Antisipasi terhadap resiko cedera saat menangkap dilakukan dengan menangkap burung pemangsa dalam keadaan sayap tertutup sehingga terlindung dari alat tangkap. Selama handling, sayap terus dijaga dalam keadaan tertutup secara normal. Saat membuka sayap, penarikan dilakukan secara perlahan tanpa memaksa burung. Keberadaan bulu-bulu terbang juga perlu mendapat perhatian khusus agar tidak patah maupun tercabut (Sheldon, 2006).







Alat yang digunakan untuk restrain burung :
·         Clean towel untuk restraint burung agak besar
·         Paper towel untuk restraint burung yg kecil
·         Towel/anduk dari kain yang lunak,kuat
·         Sarung tangan dari kain s/d kulit yang tidak tembus gigitan burung
·         Ear protection equiment
·         Penutup mata untuk burung tertentu
·         Capture net /jaring dengan berbagai ukuran/Jaring untuk menangkap burung yang lepas
·         Mouth specula/pembuka mulut
·         Tongkat kayu/besi kecilàpenggoda patukdll

3.      Patologi air sacculitis.
Airsacculitis didefinisikan sebagai "istilah yang digunakan untuk menggambarkan
burung memiliki kantung eksudat .  Airsacculitis adalah gejala, bukan penyakit tertentu.
Airsacculitis mungkin hasil dari E.coli, Mycoplasma, aspergillosis, flu burung dan kolera
.

Bentuk ini umumnya merupakan infeksi sekunder pada berbagai penyakit pernafasan terutama Chronic Respiratory Disease (CRD), Infectious Coryza (Snot), New Castle Disease (NCD), infectious bronchitis (IB). Mukosa saluran pernafasan yang rusak akan sangat peka terhadap invasi E.coli melalui rute pernafasan. Airsacculitis juga dapat merupakan infeksi primer akibat E. coli misalnya pada koliseptikemia.
Airsacculitis biasanya ditemukan pada ayam berumur 5-12 minggu. Infeksi buatan dengan Mycoplasma sp.   akan meningkatkan kepekaan terhadap E. coli sekitar 12-16 hari pasca infeksi dan akan berlangsung terus selama kurang lebih 30 hari.
Penanggulangan dan pengobatan airsacculitis disesuaikan dengan sifat primer atau sekunder dari bentuk kolibalisis tersebut. Disamping itu juga perlu dilakukan koreksi pada berbagai aspek managemen yang mungkin merupakan faktor pendukung terjadinya airsacculitis.
( Tabbu, 2000)

Daftar Pustaka.

                   Sheldon, C.C. et al. 2006. Animal Restraint for Veterinary Professionals. St. Louis :
                        Mosby, Inc.
Lane, R.D.2003. Veterinary Nursing third edition. London :
Butterworth Heinemann.
Tabbu, C.R., 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya . Yogyakarta :
Penerbit Kanisius.